Sedang Membaca
Lirik Lagu “Aisyah”, Novel, dan Buya Hamka

Lirik Lagu “Aisyah”, Novel, dan Buya Hamka

Whatsapp Image 2020 04 17 At 12.55.45 Pm

Sidang pembaca Alif yang budiman. Izinkan saya memberikan pandangan terkait kontroversi sebuah lagu berjudul “Aisyah Istri Rasulullah” yang dipopulerkan oleh Anisa Rahman. Lagu ini menjadi perbincangan terkait liriknya yang bagi sebagian orang, dengan alasan yang berbeda-beda, terdengar sedikit janggal. Sebagian pihak memberikan saran untuk mengubah lirik lagu tersebut. Sebagaimana dapat kita temukan di media sosial, banyak yang kemudian membuat adaptasi lagu itu dengan lirik yang sudah diperbaiki.

Namun begitu, ternyata masih juga kita temukan suatu keberatan dari pendengar lagu Islami mengenai lirik yang sudah diubah itu, sehingga ada pula yang kemudian menyanyikannya kembali dengan lirik yang bahkan nyaris diubah semuanya, sehingga jadinya kita mendengarkan lagu dengan komposisi yang serupa tapi lirik yang berbeda.

Mengapa lirik lagu tersebut terdengar begitu janggal bagi banyak pendengar?

Untuk menjawabnya, tentu akan lebih baik bila kembali ke pangkal jalan, ke tempat lagu itu berasal, yaitu Malaysia. Sebuah kelompok musik bernama Projector Band tahun 2017 lalu mempublikasikan lagu mereka berjudul “Aisyah”. Lagu bernada ceria ini tidak tentang Aisyah Ra, istri Nabi Muhammad SAW, melainkan perihal kisah cinta muda-mudi, antara seorang lelaki yang kecewa dengan pacarnya yang bernama Aisyah.

Masih di Malaysia, di tahun yang sama, lagu patah hati itu di-cover oleh Mr. Bie dengan mengganti liriknya dengan lirik yang menceritakan Aisyah Ra namun tetap dengan komposisi musik yang kurang-lebih serupa. Judulnya ditambah sehingga menjadi “Aisyah Istri Rasulullah”.

Untuk contoh kasus di Indonesia, strategi mengislamisasi sebuah lagu sudah lumrah sekali kita temukan. Untuk kepentingan dakwah, sebuah lagu yang populer di kalangan masyarakat seringkali diubah liriknya dengan lirik Islami dengan tetap dinyanyikan dengan menggunakan kerangka nada yang kurang-lebih sama.

Mulai dari tradisi Shalawat Dulang di Sumatra Barat yang mengadaptasi lagu dangdut sampai ke sebuah penampilan rebana di  sebuah tempat di pulau Jawa yang mengadaptasi lagu “The Man Who Sold the World” versi band rock Nirvana, adalah sedikit dari daftar yang masih bisa kita perpanjang lagi.

Usaha seperti ini disebut sebagai dakwah dengan memanfaatkan medium-medium populer; semacam solusi agar tetap islami tanpa harus berbelah-bambu dengan apa yang digemari masyarakat umum. Begitu sering kita dengar.

Kembali ke lagu “Aisyah Istri Rasulullah”, Mr. Bie memanfaatkan penggunaan kata Aisyah dari lagu aslinya dan mengerucutkannya ke “Aisyah” istri Nabi sembari memanfaatkan “kelebihan” lain dari lagu tersebut, yaitu aspek easy listening atawa enak didengar.

Dalam konteks perubahan lagu itu tentulah kita bisa membayangkan bahwa perubahan utama yang diinginkan adalah perubahan pesan dari liriknya, dari lirik yang sering disebut “non-Islami” ke lirik yang sering disebut “lebih Islami”, yang sering dikaitkan dengan anjuran moral agar anak-anak muda meninggalkan hubungan cinta ala pacaran masa kini dan beralih ke hubungan cinta ala Nabi Muhammad SAW; “pacaran” setelah menikah, dst. Begitu saya mendengarnya.

Tentulah banyak pihak yang memuja-muji adaptasi lagu tersebut dengan alasan serupa itu sebagaimana mudah dijumpai di media sosial.

Pada 23 Maret 2020, Anisa Rahman di akun Youtube-nya mempublikasikan versi cover lagu “Aisyah Istri Rasulullah” dari Mr. Bie tersebut dan tak berapa lama muncullah kontroversi yang tak dapat dihindarkan serta berbagai saran, terutama soal lirik. Untuk lebih jelasnya, berikut saya salin utuh liriknya. Saya memberi tanda bold dan efek miring untuk setiap bagian lirik yang banyak dipersoalkan.

Mulia indah cantik berseri
Kulit putih bersih merah dipipimu
Dia Aisyah putri Abu Bakar
Istri Rasullullah.

Sungguh sweet Nabi mencintamu
Hingga Nabi minum di bekas bibirmu
Bila marah Nabi kan memanja
Mencubit hidungnya.

Aisyah…
Romantisnya cintamu dengan Nabi
Dengan baginda kau pernah main lari-lari
Selalu bersama hingga ujung nyawa
Kau disamping Rasullullah.

Aisyah…
Sungguh manis oh sirah kasih cintamu
Bukan persis novel mula benci jadi rindu
Kau istri tercinta ya Aisyah Humairah.
Rasul sayang kasih Rasul cintamu

Mulia indah cantik berseri
Kulit putih bersih merah dipipimu
Dia Aisyah putri Abu Bakar
Istri Rasullullah.

Sungguh sweet Nabi mencintamu
Bila lelah Nabi baring di jilbabmu
Seketika kau pula bermanja
Mengikat rambutnya.

Aisyah…
Romantisnya cintamu dengan Nabi
Dengan baginda kau pernah main lari-lari
Selalu bersama hingga ujung nyawa
Kau disamping Rasullullah.

Aisyah…
Sungguh manis oh sirah kasih cintamu
Bukan persis novel mula benci jadi rindu
Kau istri tercinta ya Aisyah Humairah.

Aisyah…
Romantisnya cintamu dengan Nabi
Dengan baginda kau pernah main lari-lari
Selalu bersama hingga ujung nyawa
Kau disamping Rasullullah.

Aisyah…
Sungguh manis oh sirah kasih cintamu
Bukan persis novel mula benci jadi rindu.
Kau istri tercinta ya Aisyah Humairah.
Rasul sayang kasih Rasul cintamu

Terkait kontroversi soal penyebutan nama Aisyah belaka  yang dianggap belum terlalu “sopan” oleh berbagai orang, Ustad Abdul Somad (UAS) kemudian mengajukan saran agar penyebutan nama Aisyah di liriknya ditambah dengan kata “Sitti” atau “Sayyidah” sebagai bentuk penghormatan. Dan Buya Yahya pun mengusulkan hal sama dan juga menambahkan agar penyebutan fisik secara detil diganti dengan sifat-sifat umum yang melekat padanya.

Baca juga:  Karena Dia yang Kau Cintai ingin Mendengar "I Love You"

Selain soal-soal yang sudah diberi saran oleh ahli agama tersebut, beberapa orang tampaknya juga keberatan hal lain, yaitu dengan frasa “mengikat rambutnya”, “mencubit hidungnya”, dan “jilbabnya”. Siapakah “nya” dalam frasa “mengikat rambutnya”?

Kalau “nya” itu Nabi, apakah rambut Nabi begitu panjang sehingga harus diikat? Ada pula yang bertanya, apakah ketika zaman itu sudah ada jilbab seperti kata itu kita pahami sekarang? Begitu kira-kira yang saya amati di media sosial.

Menurut saya, keberatan tersebut bisa kita selesaikan dengan membandingkan dengan lirik dari versi Mr Bie. Dengan perbandingan itulah kita tahu bahwa terdepat perbedaan antara lirik versi Anisa Rahman dan Mr. Bie. Dalam lirik versi Mr Bie, hanya ada frasa “ribanya”, “menyikat rambutnya” dan “mencuit hidungnya”. Dengan begitu, sudah jelas kiranya bahwa dalam lirik Anisa Rahman terdapat perubahan dari “menyikat” ke “mengikat”, dari “cuit” ke cubit”, dan dari “riba” ke “jilbab”.

Untuk perubahan lirik tersebut, sejauh yang saya amati, belum ada tanggapan atau saran, seperti dari ahli agama. Oleh sebab itu, saya ingin memberikan tanggapan. Tapi, saya bukan ahli agama. Saya hanya akan melihatnya dari aspek bahasa belaka. Perubahan dalam lirik versi Anisa Rahman, menurut saya, melenceng dari maksud versi Mr. Bie.

Bahasa Melayu-Malaysia adalah aspek yang harus kita pertimbangkan untuk memahami lirik versi Mr Bie tersebut. Dalam bahasa Melayu, “cuit” dan “cubit” mempunyai perbedaan makna. “Cuit” itu adalah menyentuh dengan ujung jari, sedangkan “cubit” adalah menjepit dengan dua ujung jari.

Di KBBI pun ada kata “cuit” tapi saya tak tahu mengapa pengubah lirik versi Anisa Rahman perlu menggantinya dengan “cubit”. Sedangkan “riba” dan “jilbab” mempunyai perbedaan yang sangat jauh, “riba” adalah pangku sedangkan “jilbab” adalah kain penutup kepala perempuan.

Orang Indonesia barangkali tidak terlalu asing dengan kata “riba”. Selain  itu, “menyikat” dan “mengikat” adalah dua hal berbeda. Dalam bahasa Melayu-Malaysia, “menyikat rambut” sama dengan “menyisir rambut” dalam bahasa Indonesia.

Tentu, kita harus tahu mengapa lirik tersebut perlu diubah. Namun, ada yang berpendapat bahwa cerita Aisyah dalam lagu itu mesti terlegitimasi dari riwayat Aisyah RA dalam hadist.

Maka bila memang mesti begitu,  tentu di bagian ini, para ahli hadist-lah yang lebih layak mengukur kesesuaiannya, mana yang lebih tepat: mengikat atau menyisir, mencubit atau mencuit, di pangkuan atau di jilbab.

Sebagai tambahan, ada juga yang merasa janggal dengan pilihan kata (diksi) “sweet”. Saya kira, munculnya kata dari bahasa Inggris di dalam lirik lagu adalah hal yang biasa saja bagi penurut bahasa Melayu-Malaysia, sebab dalam percakapan sehari-hari mereka “lebih lumrah” seperti itu bila misalnya dibandingkan dengan penutur tertentu berbahasa Indonesia tertentu yang mungkin akan lebih memilih mencari padanannya dalam bahasa Inggris.

Lagi-lagi, soal kata “sweet” ini sama konteksnya dengan kata-kata lainnya, yaitu konteks bahasa Melayu-Malaysia. Konteks perbedaan khazanah bahasa inilah yang tampaknya tidak terlalu dicermati oleh orang Indonesia.

Sidang pembaca Alif yang sentosa. Sejauh ini kita sudah melacak sekilas asal-muasal lagu “Aisyah Istri Rasulullah” dan melihat berbagai perubahan makna dalam lirik yang terjadi dari versi Mr Bie ke versi saudari Anisa Rahman.  Kini ijinkan saya memberikan pendapat lanjutan, dan mengawalinya dengan memberikan perbandingan lain, dari sebuah naseed yang sama-sama berbicara tentang Sitti Aisyah Ra, berjudul “Aisha (ra)” oleh Omar Esa, penyanyi populer dari UK. Saya kutip seutuhnya:

Brothers and sisters
Of the world and all humanity
There is a lady
That we adore
The mother of believers
The special one

Aisha (radialla’anha)
Aisha (radialla’anha)

She was the wife of Muhammad
Peace be upon him, we love him so much
Her amazing father was Abu Bakr
Radialla’anhu, known as the truthful one

Aisha (radialla’anha)
Aisha (radialla’anha)

She was the first woman scholar of our Islam
She was amongst the greatest givers of hadith
She was our mother

Saya sengaja memulai pandangan lanjutan dengan menyalin seutuhnya lirik di atas, untuk menegaskan bahwa sebuah lagu pemujaan akan lebih baik menyertakan aspek-aspek eksternal dari sosok tersebut, yaitu aspek-aspek yang menunjukkan kontribusi sosok tersebut dengan kondisi yang lebih luas, misalnya dengan perjuangan Islam di masanya.

Saya kurang-lebih sepakat pada sisi tertentu dengan Buya Yahya bahwa menyebut-nyebut fisik tidak ada “manfaatnya”. Namun, lebih dari itu, bagi saya, yang tak kalah penting dari seseorang, untuk diingat dan disebarluaskan ke orang lain, adalah tentang kontribusinya bagi orang banyak—sekecil apapun itu.

Baca juga:  Lukisan Farshchian, dari Karbala hingga London

Dari lirik lagu Omar Esa di atas, kita dapat menemukan bahwa pencipta liriknya tidak berurusan dengan fisik, tapi lebih pada prestasi Sitti Aisyah Ra itu sendiri. Sebagai contoh, misalnya, ia menyebut “she was the first woman scholar of our Islam” dan “she was amongst the greatest givers of hadith”.

Saya kira, dengan dua penyebutan itu, Omar Esa bisa disebut lebih mengarah ke hal seperti itu. Betapa pentingnya, menurut saya, mengangkat sosok Aisyah RA sebagai intelektual, daripada sibuk menceritakan detil fisiknya.

Pada 6 April 2020 lalu, kurang dari sebulan setelah saudari Anisa Rahman, Yusuf Subhan mempublikasikan versi cover lagu “Aisyah Istri Rasulullah” di akun Youtube-nya dengan lirik yang sudah diubah berdasarkan saran dari Buya Yahya. Saya tidak tahu bagian mana yang diubah berdasarkan saran Buya Yahya dan bagian mana yang diubah oleh pengubahnya sendiri. Yang jelas, dari lirik yang baru ini, kita melihat bahwa pemujaan terhadap Aisyah Ra tidak mengarah pada kedetilan fisik lagi. Berikut saya kutip seutuhnya:

Mulia berani lembut hatimu

Amat cerdas ilmu seluas samudera

Yaa Sayyidah, putri Abu Bakar, istri Rasulullah

Sungguh Nabi memuliakanmu

Hingga Nabi minum di bekas gelasmu

Bila marah, Nabi kan memanja, sejukkan hatinya

Ummana, sungguh terpuji akhlakmu dengan Nabi

Dengan Baginda Bunda slalu berseri-seri

Selalu bersama, hingga ujung nyawa kau di samping Rasulullah

Sayyidah ‘Aisyah sungguh manis sirah cintamu

Bukan persis novel yang kadang cerita semu

Kau istri mulia, ya ‘Aisyah Ummana.

Mulia berani lembut hatimu

Mujtahidah cerdas Ummi yang sholehah

Yaa Sayyidah, putri Abu Bakar, istri Rasulullah

Sungguh sweet Nabi memuliakanmu

Wanita Surga yang nampak di dunia

Amat suci, cinta dan kasihnya, pada Rasulullah

Ummana, sungguh terpuji akhlakmu dengan Nabi

Dengan Baginda Bunda selalu berseri-seri

Selalu bersama, hingga ujung nyawa kau di samping Rasulullah

Sayyidah ‘Aisyah sungguh manis sirah cintamu

Bukan persis novel yang hanya fatamorgana

Kau istri mulia, yaa ‘Aisyah Ummana.

Sayyidah ‘Aisyah sungguh manis sirah cintamu

Bukan persis novel yang hanya fatamorgana

Kau istri mulia, yaa ‘Aisyah Ummana.

Saya tak hendak membahas kualitas lirik ini lebih dalam. Tapi, lirik versi yang dinyanyikan Yusuf Subhan di atas bisa dikatakan lebih penuh pertimbangan daripada lirik versi Mr. Bie dan saudari Anisa Rahman, dalam artian bahwa lirik itu tidak lagi terfokus pada urusan-urusan fisik.

Pengubah lirik di atas lebih tampak berusaha fokus untuk menunjukkan hal-hal yang bersifat pemujaan. Namun, bukan berarti itu sudah “sempurna”. Bila dibandingkan dengan lirik lagu Omar Esa, penyanyi UK itu menyebut secara kongkrit kontribusi Aisyah Ra dalam peradaban Islam. Ini poin menarik dari lirik Omar Esa itu. Lirik Yusuf Subhan di atas hanya memilih sebutan abstrak seperti “cerdas”, “ilmu seluas samudra”.

Dalam hal ini, bagi saya pribadi, akan lebih baik bila tak hanya penyebutan abstrak, tetapi juga dipertajam dengan penyebutan kongkrit ala Omar Esa sebelumnya. Tentu, menggabungkan kedua cara itu akan lebih baik: kita membuat pemujaan pada seorang figur dengan cara menggabungkan ekspresi abstrak dan pernyataan kongkrit atas kontribusi orang tersebut kepada masyarakat yang lebih luas.

Sidang pembaca Alif yang berbahagia. Sampai di sini kita sudah mencoba membuat suatu perbandingan antara lirik lagu “Aisyah Istri Rasulullah” dengan sebuah lagu Omar Esa yang sama-sama berbicara tentang Sitti Aisyah Ra. Kita juga sudah menimbang-nimbang kelebihannya dan membuat semacam gambaran sederhana perihal model yang katakanlah penuh pertimbangan dalam membuat suatu lagu pemujaan.

Di bagian selanjutnya, ijinkan saya memberikan pandangan terkait tiga lirik lagu “Aisyah Istri Rasulullah” versi Mr. Bie, Anisa Rahman, dan Yusuf Subhan. Ada satu hal yang menjadi perhatian khusus bagi saya, yaitu soal perumpamaan yang digunakan dalam lirik-lirik tersebut. Perumpamaan yang saya maksud adalah tentang penggunaan diksi (pilihan kata) “novel” dalam ketiga variasi lirik tersebut. Saya kira contoh kasus seperti ini juga penting untuk dipertimbangkan.

Dari perubahan lirik dalam lagu “Aisyah” versi Projector Band ke versi Mr Bie, kita bisa mempelajari soal pertimbangan pada penyebutan nama seseorang, sebagaimana dilakukan beberapa pihak. Dari perubahan lirik versi Mr Bie ke Anisa Rahman, sebagaimana saya sebutkan tadi, kita bisa mempelajari bagaimana perlunya pertimbangan konteks bahasa yang membentuk lirik tersebut (Melayu-Malaysia), dan dari perubahan lirik dari versi Anisa Rahman ke versi Yusuf Subhan, saya kira, kita bisa belajar bagaimana pentingnya mempertimbangkan baik-baik setiap diksi yang digunakan.

Saya memberi penekanan pada “setiap diksi” bukan untuk mengatakan bahwa lirik versi Yusuf Subhan tidak punya pertimbangan sama sekali. Justru, lirik tersebut sudah mempertimbangkan banyak hal terkait cara pandang terhadap Sitti Aisyah RA sebagai seorang ibu.

Baca juga:  Aisyah dan Sikap Kritis dalam Beragama

Namun, perlu juga kiranya diingatkan bahwa lirik versi Yusuf Subhan (dan tentunya juga versi Mr Bie dan Anisa Rahman) belum mempertimbangkan secara saksama terhadap penggunaan diksi “novel”. Lirik versi Mr Bie dan versi saudari Anisa Rahman sama-sama menggunakan perumpamaan “novel mula benci jadi rindu”. Lirik versi Yusuf Subhan mengubahnya menjadi “novel yang kadang cerita semu” dan “novel yang hanya fatamorgana”.

Pada prinsipnya, ketiga perumpamaan itu digunakan untuk menegaskan bahwa sirah (biografi) cinta antara Aisyah Ra dengan Nabi Muhammad Saw tidak seperti itu. Tentu tidak ada yang salah bila sebuah lagu pemujaan berisikan perumpamaan-perumpamaan yang menyampaikan soal kesempurnaan dan semacamnya, namun tetap saja kita mesti mempertimbangkan diksi (pilihan kata) dengan baik-baik.

Dari ketiga lirik tersebut, kita sama-sama melihat bahwa kata “novel” diposisikan begitu receh. Novel, bagi ketiga lirik tersebut, hanyalah contoh dari suatu yang semu, suatu fatamorgana, sebuah kisah yang hanya sekelas benci tapi rindu. Saya tak hendak mengatakan bahwa semua novel tidak seperti itu.

Yang ingin saya perjelas di sini adalah: perumpamaan itu terlalu menyederhanakan khazanah novel itu sendiri, bahkan harus kita akui bahwa dari perumpamaan itu terkandung makna bahwa novel adalah sesuatu yang tidak layak dibaca. Padahal, novel adalah suatu khazanah, suatu hamparan yang luas, yang tak bisa dikerucutkan menjadi suatu watak belaka. Ada novel benci tapi rindu tapi tidak semua begitu. Ada novel yang dianggap semu, tapi bicara soal semu maka itu pun banyak cabang-cabang pengertiannya.

Novel, ah, suatu padang yang entah di mana ujungnya, terlalu luas untuk sebuah klaim. Oleh sebab itu, alangkah baiknya bila pencipta lirik tersebut memilih diksi lain bila memang tidak terlalu memahami apa yang dijadikannya lirik. Atau, kalau masih ingin menggunakan kata dari dunia novel, maka sebaiknya lebih spesifik mencari contoh kisah tertentu.

Misalkan, sebagai contoh, untuk kisah perjodohan seringkali dirujuk novel Sitti Nurbaya, meski novel Sitti Nurbaya itu tak cuma soal perjodohan. Pencipta lirik lagu tersebut bisa mencari contoh sendiri, kisah seperti apa yang menunjukkan suatu fatamorgana atau kisah di novel apa yang benci tapi rindu, dan seterusnya. Dan tentu saja, hanya dengan membaca langsung suatu novel-lah kita bisa tahu apa yang akan kita tulis sebagai perumpamaan dalam suatu lirik lagu.

Saya kira hal itu perlu diingatkan, karena perumpamaan itu—meskipun kata orang hanya sekadar perumpamaan—tetap saja akan membentuk persepsi dalam masyarakat umum. Lirik lagu, walaupun sering disebut hanya lirik lagu belaka, tetap saja bagian dari produk bahasa.

Dan suatu produk bahasa, apalagi yang diulang-ulang terus karena kepopulerannya dalam masyarakat, dengan suatu dan lain cara akan menjadi bagian dari persepsi masyarakat tersebut. Tentu, bagi saya, akan sangat tidak baik bila persepsi masyarakat terhadap novel akan menjadi sereceh itu.

Bagi saudara-saudari saya yang menjadikan novel sebagai medium dahwah agama, apapun agamanya, tentu mereka juga akan keberatan dengan persepsi lirik lagu tersebut terhadap dunia novel. Apalagi para penulis novel lain yang sangat beragam dan tidak mudah disimpulkan dalam satu perspektif belaka.

Dengan begitu, kepada teman-teman pencipta lirik lagu Islami, tanpa mengurangi rasa hormat, marilah kita untuk mempertimbangkan perumpamaan-perumpamaan yang dibuat. Tentu tak ada larangan untuk berkarya di negara ini, tapi jangan sampai atas nama dakwah kita meluputkan pertimbangan-pertimbangan sosial masyarakat kita.

Paling tidak dari contoh ini kita bisa belajar bahwa setiap kata dalam lirik lagu—sebagai contoh—meski kata-kata yang benar-benar kita pahami dengan baik, harus benar-benar kata-kata yang sudah dipertimbangkan dengan matang. Tidak sebatas pada contoh kasus mulai dari diksi “Aisyah” hingga diksi “novel” ini saja, tapi untuk apapun contoh lainnya. Niat untuk berdakwah tentulah baik tapi sekadar niat tidaklah cukup dan mesti disokong dengan kapasitas.

Sidang pembaca Alif yang budiman. Saya kira segala pandangan sudah saya sampaikan, semoga dapat menjadi suatu penerangan walau sedikit belaka. Barangkali sudah saatnya perbincangan ini kita akhiri sampai di sini. Sebagai penutup, saya terangkan sedikit bahwa judul tulisan ini menyebut nama ulama besar Buya Hamka.

Izinkan saya menyebut nama  beliau sebagai salah satu contoh bagaimana niat berdakwah mesti didukung oleh kemampuan berbahasa yang mumpuni. Saya tentu tak hendak mengatakan bahwa segala kesempurnaan ada pada beliau. Tentu Tuhan yang berhak menyandangnya.

Namun, pentinglah kiranya kita belajar banyak pada Buya Hamka perihal perlunya pemahaman bahasa. Tanpa harus berpanjang-lebarkan lagi, semoga penghujung pandangan saya ini dapat menjadi suatu permulaan yang baik agar kita menelusuri kembali khazanah karya Buya Hamka. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top