Apa yang membawamu pergi mengunjungi tempat-tempat yang jauh?
Kerinduan dari masa silam? Harapan pada masa depan? Apa yang sesungguhnya kaucari?
Seminggu lalu, aku telah datang sendirian menapaki tempat suci berusia ribuan tahun ini. Orang Yahudi menyebutnya sebagai “Temple Mount” atau “Gunung Kuil”. Di Gunung Moriah inilah konon dulu Nabi Sulaiman membangun kuil agung yang kemudian menjadi pusat peribadatan paling sakral bagi orang-orang Yahudi.
Kuil itu kini tak ada lagi, kecuali puing-puing purba yang teronggok bisu di beberapa bagian. Ada kerja ekskavasi arkeologis Israel yang tampak terus bergerak mendekati kompleks ini meski ditentang mati-matian oleh kaum Arab Pelstina.
Satu-satuanya sisa Kuil Sulaiman yang masih jelas bentuknya adalah dinding raksasa di sisi Barat bagian utara. Itulah Tembok Ratapan (The Wailing Wall) yang selalu berjejal umat Yahudi berpakaian hitam-hitam khususnya antara Jumat sore menjelang matahari terbenam hingga 24 jam berikutnya.
Kuil Sulaiman yang pertama dihancurkan pada 587 SM oleh Raja Nebukadnezar II dari Babilonia, sedang Kuil Kedua dihancurkan oleh penguasa Romawi pada tahun 70 masehi. Di sini pula kelompok Yahudi garis keras berencana hendak membangun Kuil Ketiga.
Bagi orang-orang Islam, kompleks ini disebut sebagai “Haram al Sharif” atau “Baitul Maqdis”.
Luas keseluruhannya kira-kira adalah 14 hektar. Yang sekarang berdiri megah di kompleks keramat ini adalah dua bangunan suci umat Islam yang terpisah dengan jarak beberapa ratus meter saja, yakni “Dome of the Rock” dan “Masjid al Aqsa”.
Keduanya selesai dibangun sekitar tahun 691-692 oleh Sultan Abdul Malik bin Marwan dari Dinasti Umayyah I yang kemudian dituntaskan oleh anaknya Al Walid pada tahun 705, kira-kira setengah abad sejak Yerusalem direbut oleh Umar bin Khattab dari Kekaisaran Bizantium.
Dome of the Rock adalah salah satu khazanah seni arsitektur Islam tertua paling indah yang masih berdiri hingga hari ini. Ia bisa menampung sekitar 1500 jemaah.
Kami masuk melalui Gerbang Chain, gerbang langsung yang menghubungkan perkampungan muslim (Muslim Quarter) menuju Haram al Sharif dan khusus hanya bisa dipakai oleh orang Islam.
Aku langsung menuju Dome of the Rock (Qubbah al Sakhrah), tempat suci dengan kubah emas, bangunan kuno paling megah yang tampak sangat menonjol dan selalu mencuri perhatian pada landskap kota tua Yerusalem. Banyak orang mengira, itulah yang disebut masjid al Aqsa. Tapi bukan. Aku akan bercerita lebih jauh tentang masjid al Aqsa secara terpisah pada bagian berikutnya.
Dome of the Rock berdiri di tengah tempat terbuka dengan halaman luas yang terbuat dari batu Yerusalem berwarna kelabu bersemu kuning yang sangat khas itu. Puncak kubah yang berhias bulan sabit menjulang lebih dari 31 meter di atas permukaan tanah.
Orang tampak lalu-lalang keluar masuk. Tapi untuk tempat suci sepenting ini, jumlah pengunjung sebetulnya relatif sepi. Sebagian besar pengunjung adalah orang-orang Arab lokal dan beberapa rombongan turis muslim dari sejumlah negara.
Selain adanya boikot dari banyak pemimpin muslim, termasuk fatwa Yusuf Qaradawi untuk tidak mengunjungi al Aqsa yang kini berada di bawah pendudukan Israel, bahkan muslim dari negara Yordania dan Mesir yang berbatasan langsung dan punya hubungan diplomatik pun memang tidak mudah mendapatkan visa Israel. Itulah diantara sebab kenapa al Aqsa tampak sepi pengunjung.
Entah berapa lama aku menatap mukjizat peradaban itu tak berkedip. Secara keseluruhan, arsitektur Dome of the Rock terlihat menyerupai mahkota raksasa. Kubah berlapis emas dengan diameter 20.30 meter (bagian dalam) dan tinggi 20.48 meter yang merupakan puncak mahkota itu duduk di atas lingkaran besar yang terdiri dari 12 pilar berjajar dan dihubungkan oleh 4 rusuk utama.
Konstruksi utama kubah itu sendiri terbuat dari kayu. Sisi luar lingkaran penopang kubah itu dihiasi oleh kaligrafi ayat-ayat Alquran dan mosaik seni geometris Islam yang sangat detil dan persis.
Di sana juga terdapat 16 jendela kaca berwarna yang memungkinkan sinar matahari menerobos ke bagian dalam untuk mengagumi keindahan interior langit-langit kubah serta mosaik lain yang terpahat pada dinding atas bangunan.
Bangunan berbentuk lingkaran dengan 16 jendela tadi berfungsi sebagai leher yang menghubungkan kubah emas dengan pundak berbentuk oktagon dan badan bangunan utama di bawahnya. Bangunan utama di bagian bawah juga berbentuk segi delapan, masing-masing sisinya memiliki luas 18 meter dengan ketinggian 11 m.
Oleh Sultan Sulaiman Yang Agung dari dinasti Turki Usmani abad ke-16, seluruh materi sisi luar dinding bangunan utama itu diganti dengan marmer dan keramik dengan motif geometri khas Islam berkomposisi warna biru, hijau dan kuning yang menghiasi separuh bagian atas dan warna putih dengan motif yang lebih sederhana pada separuh bagian bawah.
Pada pelengkung oktagon di bagian atas dan pintu masuk, baik sisi luar maupun sisi dalam, tertulis kaligrafi Arab yang diambil dari ayat-ayat Alquran. Yang menonjol adalah surat al-Ikhlas dan bagian awal Surat al Isra’. Dibangun di tengah komunitas Kristen yang kuat ketika itu, pesan utama kaligrafi ayat Alquran yang paling menonjol adalah penegasan prinsip tauhid sebagai inti ajaran Islam.
Sedang pada sepanjang sisi atas bagian luar bangunan oktagon utama tertulis kaligrafi surat Yasin lengkap. Di bagian pelengkung Tenggara juga terdapat keterangan bahwa bangunan itu didirikan oleh Abdul Malik (yang dihapus dan diganti menjadi Al Ma’mun, waktu nama yang kedua itu melakukan renovasi bangunan pada tahun 836).
Kaligrafi itu dulunya adalah jenis kufi, tulisan Arab gundul tanpa titik mapun harakat. Antara lain kaligrafi ini pulalah yang menjadi fakta pendukung tentang keaslian teks Alquran yang dibaca umat Islam hingga hari ini.
Di gerbang masuk utama di sisi Barat, setelah menaiki tangga menuju halaman kompleks itu, kita segera melihat gapura batu dengan pilar dan lengkung yang megah dan konon merupakan bagian dari bangunan sebelumnya yang lebih kuno.
Di halaman juga terdapat puluhan situs penting dalam bentuk sumur, tempat wudhu, mimbar, kubah-kubah dan lain-lain, yang dibangun oleh para penguasa Islam dari berbagai dinasti dan zaman yang berbeda.
Ketika waktu salat tiba, suara azan segera mengalun indah menyapa bukit-bukit Yerusalem dari empat menara yang menjulang dari setiap sudut halaman.
Di halaman, tumbuh pohon-pohon kurma dan zaitun besar yang hijau merimbun. Berkali-kali aku mendengar rombongan turis yang baru datang tak habis-habis berdecak kagum sambil memuji kebesaran Allah menyaksikan mahakarya peradaban Islam itu.
Setelah bersuci di tempat wudu di halaman bawah, aku segera masuk melalui pintu Barat yang bertutup kulit binatang berukuran raksasa.
“Ahlan. Min Indonesia?” tanya petugas kemanan masjid dengan senyum cerah ketika kami bersalaman dan kuiyakan. Kami terlibat obrolan kecil sebentar.
Setelah meletakkan sepatu pada rak di samping pintu, aku segera shalat dua raka’at entah berapa kali di dekat mihrab. Seluruh situasi yang bergelayut di sekitar tempat ini membuatku menjadi sangat emosional sejak melangkah memasuki pelataran tadi. Lebih-lebih ketika kakiku menapaki lantai dalam bangunan keramat ini.
Setelah berdoa, aku berkeliling dengan emosi yang terus meluap. Di ruang peradaban yang begitu penuh oleh sejarah, waktu terasa berhenti. Aku baru sadar belakangan, bahwa Dome of the Rock ini bukanlah masjid, tapi petilasan keramat (shrine). Salat jemaah lima waktu dan kegiatan-kegiatan lain dilaksanakan di masjid al Aqsa.
Keseluruhan arsitektur ini, menurut para ahli, merupakan buah dialog Islam dengan peradaban di sekitarnya, khususnya Bizantium Kristen. Konstruksi kubah, struktur bangunan utama bersegi banyak, pelengkung, pilar-pilar, jendela kaca warna, mosaik dan desain interiornya jelas sekali memperlihatkan pengaruh tradisi Bizantium.
Gereja Makam Suci yang dibangun pada masa Kaisar Konstantin dan berdiri megah beberapa ratus meter saja dari Dome of the Rock memiliki arsitektur yang sangat mirip.
Yang membuat Dome of the Rock spesial dan kontras dari bangunan Kristen di sekitarnya adalah mosaik geometris khas Islam dan tiadanya gambar makhluk hidup entah dalam bentuk lukisan dan hiasan dinding maupun sebagai motif mosaik. Tentu saja, ia juga tampak jauh lebih indah dan anggun, sebagaimana yang diinginkan pendirinya Abdul Malik untuk mengungguli semua bangunan lain di sekitarnya.
Para Orientalis dan sejarawan seni peradaban dunia terkemuka, seperti Oleg Garbar, K.A.C. Creswell, Marguerite van Berchem dan ayahnya Max van Berchem telah banyak mengkaji arsitektur, mosaik, inskripsi dan pernik-pernik bangunan Dome of the Rock.
Meski ada tuduhan sebagian Orientalis bahwa karya monumental itu tidak lain adalah buah karya para seniman Bizantium, menurut Ernst Diez (1934), situasi antagonisme politik ketika itu tidak memungkinkan terjadinya pertukaran damai antara Syria Islam yang berpusat di Damaskus dan Bizantium Kristen yang berpusat di Konstantinopel.
Dengan melihat kekhasan keseluruhan arsitektur dan mosaik bangunan yang sudah merupakan corak tersendiri dibanding model bangunan Bizantium Kristen yang ada di sekitarnya, bisa dipastikan bahwa Dome of the Rock adalah karya para seniman Syria yang belajar di institusi-institusi Kesultanan Ummayah, mungkin saja ada sebagian diantara mereka yang beragama Kristen.
Dome of the Rock yang kita saksiksan sekarang merupakan hasil renovasi beberapa kali akibat kerusakan perang dan gempa bumi di masa lalu. Di bawah kekuasaan Kristen ketika Perang Salib, bangunan ini juga pernah difungsikan sebagai gereja. Simbol bulan sabit yang ada di puncak kubah sempat diganti dengan salib.
Waktu Shalahuddin al Ayyubi berhasil merebut kembali Yerusalem, simbol itu kembali diganti dengan bulan sabit.
Dulunya kubah itu berlapis tembaga. Lapisan emas pada kubah baru ditambahkan pada masa Turki Usmani dan kemudian lebih disempurnakan lagi pada tahun 1993 berkat sumbangan 80 kg emas dari Raja Hussein Yordania.
Persis di bawah kubah emas itu terletak batu raksasa yang memakan sebagian besar ruang bangunan masjid dan dikelilingi pagar tinggi. Permukaan batu raksasa itu menyembul sekitar dua meter di atas permukaan tanah. Itulah batu yang dulu menjadi titik tumpuan mi’raj Nabi Muhammad. Di bawah batu raksasa itu terdapat rongga yang membentuk gua.
Dengan menuruni tangga, kita bisa masuk ke gua yang bisa dipakai salat oleh belasan orang itu. Mungkin karena ada ruang kosong berbentuk gua inilah, maka batu raksasa di atas disebut “batu melayang” dalam cerita-cerita yang beredar luas di dunia Islam dari abad ke abad.
Sejak perang 1967, dari waktu ke waktu ada saja orang Yahudi dan Kristen yang terus berupaya untuk merusak tempat suci umat Islam ini. Salah satu ancaman paling serius terjadi pada awal 1980an ketika kelompok teroris “Jewish Underground: hampir saja berhasil meledakkan Dome of the Rock, sebagaimana dilaporkan oleh Media Israel Haaretz, Juli 2004.
Untung, pelakunya tertangkap dan segera dijebloskan ke penjara. Kenapa ada upaya begitu gigih oleh sebagian Yahudi untuk merebut tempat suci ini?
Menurut keyakinan banyak orang Yahudi, bangunan Dome of the Rock dan masjid al Aqsa sebetulnya didirikan di atas reruntuhan Kuil Romawi yang disebut Jupitar Capitolinus. Sedangkan kuil Romawi tersebut dibangun di atas reruntuhan Kuil Sulaiman Kedua. Batu raksasa yang bagi orang Islam merupakan tumpuan mi’raj Nabi Muhammad, bagi orang Yahudi adalah “Batu Asali” (Foundation Stone).
Orang Yahudi percaya bahwa dari Batu Asali yang mengembang itulah bumi ini tercipta dan dari debu batu itulah Adam diciptakan Tuhan.
Di lokasi Gunung Moriah yang merupakan tempat haram sharif itu pula dulu Ibrahim hendak mengorbankan anaknya—nabi Ishak dalam tradisi Yahudi. Batu melayang inilah kiblat sembahyang mereka.
Karena itu, dengan segala macam cara orang Yahudi berusaha untuk memperoleh kembali tempat paling suci mereka.
Yang menarik, menurut hukum Yahudi yang dipercayai mayoritas Yahudi religius, orang-orang Yahudi sebetulnya dilarang mengunjungi Temple Mount. Itulah “fatwa” lembaga kerabian tertinggi yang juga diikuti oleh pemerintah Israel sekarang.
Saking sucinya Temple Mount, yang diijinkan menginjakkan kaki di kompleks suci itu hanyalah pemimpin Rabbi tertinggi. Itu pun setahun sekali pada hari raya terpenting, Yom Kippur.
Itulah sebabnya, mayoritas orang Yahudi bersembahyang di Tembok Ratapan, lokasi paling luar kompleks itu sekaligus juga di luar pelataran bagian bawah al Aqsa. Selain rencana serangan Jewish Underground, sejumlah kelompok Yahudi garis keras, seperti Temple Mount Faithful dan Temple Institute, juga terus melakukan gerakan untuk mengambil-alih tempat suci itu dari orang Islam dengan berbagai cara.
Tahun 1990, Temple Mount Faithful bahkan melakukan “peletakan batu pertama” pembangunan Kuil Ketiga yang memicu konflik dan mengakibatkan pembantaian 20 demonstran Palestina oleh pihak keamanan Israel.
Sampai sekarang, seperti dilaporkan Al Jazeera (Desember 2017) dan media lain, upaya-upaya ke arah pengambil-alihan oleh kelompok garis keras terus dilakukan melalui bebagai cara, termasuk menyusun rancangan akses giliran jadwal sembahyang di tempat suci itu yang mereka desakkan lewat Knesset, parlemen Israel.
(Bersambung)