Kembali hadir ke hadapan kita buah karya Prof Dr H Imam Suprayogo, Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang periode 1997-2013 yang sangat produktif dan inspiratif. Buku ini merupakan kumpulan renungan beliau seputar “dunia” Kiai dan Pesantrennya. Di dalamnya berisi enam puluh dua tulisan yang terangkum dalam enam sub-tema utama.
Bagian pertama berjudulkan, Etos Perjuangan Kiai. Inti dari bagian ini Pak Imam, sapaan akrab beliau, mengajak untuk menjalani kehidupan melalui belajar pada sifat-sifat arif seorang kiai dalam berjuang menegakkan agama Allah. Menurut pengamatannya, sumbangan ulama dan kiai kepada negeri tercinta tidaklah kecil. Sejak bangsa ini belum merdeka, saat-saat menegangkan ketika berjuang mengusir penjajahan, sampai pascakemerdekaan dan reformasi, terlebih saat adanya pandemi Covid-19 ini, para ulama dan kiai berkontribusi lahir batin, serta selalu berada dalam garda terdepan.
Dalam tulisan “Untung, Negeri Ini Punya Banyak Kiai”, dengan tegas Pak Imam mengatakan, bahwa bila diinventarisasi kekayaan bangsa Indonesia, semua akan menyebutkan bahwa negeri ini menyimpan tanah yang subur dan luas, aneka tambang yang melimpah, kekayaan hutan, laut, jumlah penduduk yang besar, masyarakat majemuk tetapi bersatu, dan lain-lain. Namun, rasanya kurang afdal dan belum sempurna sebelum menyebut keberadaan para ulama dan kiai yang tersebar di seluruh jagad negeri ini (hal 55).
Selanjutnya, pada bagian kedua bersubtemakan Jiwa Altruisme Kiai. Bagian ini lebih bercerita mengenai gaya hidup seorang kiai yang lebih mengedepankan jiwa sosialnya dibanding kehidupan pribadinya. Sekecil apa pun, seorang kiai akan merasa mempunyai tanggung jawab sosial pada masyarakat sekitarnya. Keberadaan seorang kiai dalam perjalanan hidup ini tidak bisa dianggap sederhana, dan diabaikan begitu saja.
Dalam sejarahnya, peran seorang kiai tidak saja berkutat pada dunia pendidikan di pesantrennya. Namun, lebih luas dari pada itu, mulai dari menyangkut kehidupan sosial, pendidikan, ekonomi, budaya, bahkan hingga pada ranah politik sekali pun. Kiai selalu ambil bagian dalam setiap lini kehidupan.
Kemudian pada bagian ketiga bersubtemakan Mengenang Kearifan Kiai. Bagian ini berisi mengenai kesan-kesan pribadi Prof Dr Imam Suprayogo terhadap beberapa kiai yang wafat, antara lain Kiai Abdullah Faqih Langitan, Kiai Achmad Muchdlor, Kiai Idris Marzuki Lirboyo, Kiai Masduqi Mahfudz, Kiai Hasyim Muzadi, Kiai Shalahuddin Wahid, dan lain-lain. Ada semacam memoar kehilangan dirasakan bangsa ini yang sedemikian berat manakala para kiai alim dipanggil kembali ke hadirat Allah swt.
Kemudian, pada bagian keempat bersubtemakan Budaya Unggul Pesantren. Di pesantren terdapat proses pembiasaan, keteladanan, latihan kebersamaan, dan semua itu dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembiasaan menyangkut berbagai aspek, sejak dalam menjalankan shalat berjamaah, hubungan sesama santri dan kiai, hingga makan bersama.
Selanjutnya pada bagian kelima bersubtemakan Misi Pendidikan Pesantren. Di bagian ini Pak Imam lebih banyak mengulas mengenai beberapa konsep pendidikan yang diracik secara bernas dan hikmat oleh pondok pesantren untuk menyiapkan generasi islami penerus masa mendatang. Ada pun pada bagian keenam, bersubtemakan Masa Depan Pesantren.
Berisi beberapa kesan istimewa seorang Prof Dr Imam Suprayogo ketika mengunjungi beberapa pondok pesantren yang jumlahnya sedemikian banyak tersebar seantero negeri ini. Memang konsep pendidikan yang dikembangkan di pesantren belum terlihat sempurna. Namun nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya perlu dijadikan rujukan dalam pengembangan pendidikan pada umumnya, terutama di negeri ini.
Menurut catatan Pak Imam selama touring dari pesantren ke pesantren, negara dan bangsa ini berada dalam stadium yang memprihatinkan. Yaitu pada fase kemrosotan akhlak dan kehidupan sosial antar sesama manusia. Menghujat, menfitnah, menyakiti orang lain, sudah sedemikan lumrah. Demikian pula dalam akhlak berkeluarga, seorang anak lahir tanpa ayah, kasus aborsi dimana-mana, bayi dibunuh dan ditinggalkan orang tuanya sudah bukan berita yang mengejutkan lagi. Maka dari itu, peran pesantren tidak cukup hanya dengan mendidik santrinya saja. Pesantren harus turut andil dalam mengurai luka bangsa yang kian melebar ini. Sebagaimana dulu ketika merumuskan konsep kemerdekaan, pesantren harus tetap terlibat aktif dalam masalah ini.
Setidaknya Pak Imam, melalui UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang dicintai dan kita mencintainya, telah menunaikan tugas mulia ini. Berbekalkan spirit yang ditangkap selama berkunjung ke beberapa pesantren, beliau mencoba memadukan antara pendidikan agama berbasiskan pesantren yang diberi nama Ma’had Al-Aly dan kurikulum pendidikan umum, sebagaimana kita dengar harum semerbak UIN Malang selama ini.
Di belantara keilmuan, Imam Suprayogo dikenal sebagai “pendekar” yang berjasa dalam pengembangan pendidikan dan pemikiran Islam. UIN Maulana Malik Ibrahim adalah bukti konkretnya. Misi Imam Suprayogo bernas: lulusan UIN Maulana Malik Ibrahim menjadi intelek yang ‘ulama dan ‘ulama yang intelek. Karena itu, interaksi dan sepak terjang cendekiawan kelahiran Trenggalek, 2 Januari 1951 ini selalu dekat dengan Kiai dan Pesantren-nya.
Satu idiom yang melekat dengan kiai adalah pesantren. Akhir-akhir ini pesantren semakin diminati masyarakat, itu tanda kebangkitannya. Melalui buku Reformulasi Visi Pesantren, Imam Suprayogo menekankan, betapa pentingnya pesantren meningkatkan upaya melahirkan manusia ideal; tidak semata mentransfer ilmu pengetahuan, melainkan mendidik karakter secara holistik, yang disebutnya ulul albab.
Dulu, pesantren identik dengan kitab kuning. Kini, pesantren saatnya mereformulasi visi pendidikannya, membangun generasi yang mampu memadukan tiga kitab sekaligus; yakni kitab kuning (moralitas), kitab putih (intelektualitas), dan kitab abu-abu (realitas). Tiga kitab itulah yang akan membentuk manusia berilmu, berkarakter, dan maju.
Judul Buku : Reformulasi Visi Pesantren
Penulis : Prof Dr Imam Suprayogo
Penerbit : UIN-Maliki Press, Malang
Cetakan : Kedua
Tebal : xi + 269 halaman
ISBN : 978-602-1190-60-9