M Faizi
Penulis Kolom

Penyair, tinggal di Pesantren Annuqoyah, Sumenep

Dalailul Khairat: antara Shalawat Maulid dan Aurad

Ada sekian banyak bacaan shalawat yang populer di masyarakat. Di antaranya adalah; Shalawat Nariyah, Shalawat Fatih, Shalawat Ibrahimiyah, Shalawat Tibbil Qulub, dll. Semua shalawat itu dibaca sebagai wirid dan aurad (jamak wirid), sebagai rutinan, atau sesuai petunjuk mujiz (orang yang memberikan ijazah atau ‘lisensi’ metode dan cara membacanya).

Akan tetapi, khusus untuk acara Maulid Nabi di bulan Rabiulawal, shalawat yang dibaca biasanya berbentuk syiir (puisi terikat; menggunakan metrum/bahar). Di antara yang paling masyhur adalah Maulid ad-Dayba’i, Maulid al-Barzanji, Maulid al-Habsyi (Simtud Durar). Di pondok-pondok pesantren, ketiga bacaan Maulid itu dibaca pada malam Jumat, sedangkan Burdah Al-Bushiri dibacakan pada momen tertentu, seringnya malam Selasa, atau pada hari-hari istimewa, seperti malam tahun baru Hijriyah. Tapi, semua itu tidaklah dibuat kaku, bebas saja.

Di antara shalawat yang nyaris semuanya berbentuk syiir (puisi), ada pula yang berbentuk “prosa lirik” (tidak menggunakan bahar atau metrum, tetapi juga sangat mempertimbangkan gaya bahasa). Yang paling masyhur adalah Dalailul Khairat, susunan Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli.

Dalail, begitu masyarakat menyebutnya, menghimpun jenis-jenis bacaan shalawat yang masyhur di zamannya maupun yang beliau susun sendiri. Dengan begitu, Dalail merupakan perpaduan shalawat yang hadir kembali sebagai ‘menu’ yang baru. 

Meskipun aransemen dan tipografinya tidak dibentuk seperti puisi, namun Dalail tetap menjaga ciri-ciri puisi klasik, seperti rima atau persamaan bunyi, dengan ketat (coba periksa  Tukang Kebun-nya Rabindranath Tagore, misalnya, sebagai pandangan dan perbandingan). Yang pasti, Dalail berbeda dengan sembarang madah atau ode karena ia mengandung semata-mata pujian kepada Rasulullah saw, insan paling mulia. Dalam sebuah ungkapan, memang betul Nabi Muhammad itu sama-sama manusia sebagaimana kita semua, namun posisinya seperti perbandingan batu kerakal dan batu permata.

Baca juga:  Di Nijmegen Saya Belajar Mencintai Buku (Lagi)

Repetisi merupakan gaya bahasa yang banyak digunakan di dalam kitab shalawat ini. Pengulangan yang banyak biasanya berhubungan dengan penyebutan bilangan dengan yang tak terbilang (seperti tetes air hujan, jumlah umat manusia, jumlah binatang, jumlah tarikan napas, segala sarwa, dan lain-lain) atas banyaknya shalawat. Di dalamnya, terkandung lebih dari 400 pujian untuk Nabi, termasuk di antaranya pujian melalui nama dan sifatnya. Nama-nama alias daripada Nabi Muhammad saw sendiri ada 201 satu nama, termasuk Ahid, Yasin, dan Toha.

Dalailul Khairat dibuka dengan nama-nama Allah yang elok nan agung (al-asma al-husna) dan dikelompokkan menjadi delapan. Pembagian ini berhubungan dengan metode pembacaan. Dan pembacaan atau resitalnya bergantung kepada sang mujiz (orang yang memberikan ijazah).

Menurut Kiai Sufyan Miftahul Arifin, istilah ijazah untuk shalawat sebetulnya lebih cenderung kepada soal “pengawasan terhadap kesahihan bacaan” karena shalawat itu—kata beliau—nyambungnya langsung ke Kanjeng Nabi. Namun demikian, ijazah Dalail nyaris menjadi hal penting yang senantiasa dipegang dan dirawat oleh para pengamalnya. 

Jika wirid bacaan Dalail dilaksanakan setiap hari, ia akan dimulai dari pada hari Senin (sesuai hari kelahiran Nabi) sampai ketemu Senin lagi. Tarekat yang secara disiplin menjalankan pembacaan Dalailul Khairat adalah Tarekat Syadziliyah yang biasanya punya sanad sampai ke Imam Hasan bin Ali.

Konon, dalam pertemuan tahunannya di Toronto, Dalail dibacakan di dalam suatu majlis dalam sekali duduk. Sementara di Aceh, ada model pembacaan Dalail bersama secara beramai-ramai. 

Adapun cara yang masyhur di tanah air adalah dibaca per orangan, setiap hari. Durasi waktu bacaan per bagian menghabiskan sekitar 10-15 menit atau lebih dari itu jika sambil dilanggamkan dan tartil. Di antara jenis metode pembacaan Dalail lainnya adalah dibaca sekali seminggu, langsung khatam. Adapula ijazah bacaan Dalail yang mempunyai syarat tambahan, yaitu disertai puasa menahun. Yang seperti ini, salah satunya, yang berasal dari mujiz Kiai Basyir Kudus  

Baca juga:  Amin al-Khuli: Mufasir Penggagas Lahirnya Tafsir Sastrawi atas Al-Qur'an 

Penerbit Zaman pernah mengeluarkan kitab Dalailul Khayrat yang dilengkapi dengan terjemahan. Sayangnya, dalam cetakan pertamanya, terdapat lumayan banyak kesalahan penulisan, seperti penulisan “ali” (keluarga) yang tertukar dengan ‘ala (kepada), dan lain sebagainya. Bagi yang bisa dan biasa membaca Dalail, kesalahan semacam ini tentu dengan mudah dapat ditemukan dan dikoreksi, tapi bagi awam? Nah, itu dia masalahnya.   

Meskipun begitu, ada juga pandangan yang berbeda, bahkan menganggap Dalail sebagai biang kesesatan. Di antaranya adalah pendapat Khalid bin Ali al-Ghamidi sebagaimana ia dedahkan di dalam karya anotasinya untuk “Nawaqidl al-Islam” karangan Bin Baz. Mengapa  Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli, ulama dari Abad IX Hijriyah tersebut, sampai-sampai dianggap syirik hanya karena menyusun Dalailul Khairat?

Alasannya tak lain adalah karena Dalail dianggap berlebihan alias ghuluw (berlebih, berat, ekstrim) dalam menyanjung Nabi (sebagai makhluk), sehingga membuka peluang orang mengkultuskan bahkan menuhankannya. Tentu saja, ada yang bersepakatal-Ghamidi dan Bin Baz dalam hal pendapat ini, tetapi jauh lebih banyak yang menganggap itu sebagai hiperbola saja, gaya bahasa yang sebetulnya biasa digunakan di dalam puisi, seperti pujian seorang kekasih kepada kekasihnya, seperti pujian Qais kepada Laila, pujian Hamlet kepada Ophelia. Kita dapat dengan mudah menemukan sanjungan-sanjungan seperti itu—bahkan lebih ‘ekstrem’ lagi—di dalam karya sastra.

Baca juga:  Kekuatan Nama-nama Islam

Sejauh ini, tidak ada perayaan maulid yang menggunakan Dalail sebagai bacaannya karena di dalamnya memang tidak ada narasi yang khusus tentang proses kelahiran Nabi. Dalail lebih condong pada sanjungan. Dalail lazim sebagai aurad (wirid, bacaan harian, pada waktu tertentu dan saat tertentu). Inilah, salah satunya, yang membedakan Dalail dengan, misalnya, Maulid ad-Dayba’i maupun al-Barzanji yang meskipun sama-sama berisi shalawat dan sanjungan tapi juga menyelipkan narasi perihal proses kelahiran Sang Junjungan, sebagaimana tertera dalam bagian Syaraful Anam. Wallahu a’lam 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
8
Senang
3
Terhibur
4
Terinspirasi
3
Terkejut
1
Scroll To Top