Rasa wis karasuk
Kesuk lawan kala mangsanipun
Kawises kawasanira Hyang Widhi
Cahyaning wahyu tumelung
Tulus tan kena tinegor
—Ronggawarsita
Martin Heidegger memang tak pernah secara khusus membahas politik. Seusai keruntuhan rezim Nazi di Jerman, ia terkena larangan mengajar dan mesti hidup menyepi penuh keheningan di tepi hutan karena diduga pernah menjadi corong rezim yang berkuasa. Hannah Arendt pernah mendamik mantan guru sekaligus kekasih gelapnya tersebut sebagai seorang yang jenius dalam filsafat, tapi sangat naif dalam politik sehingga dimanfaatkan oleh rezim Nazi.
Saya kira Arendt tak mutlak benar dengan penilaiannya tersebut. Setidaknya, setelah Heidegger mengetengahkan konsep berpikir meditatif yang memuat dua karakteristik utama: “Gelassenheit zu den Dingen” dan “Offenheit fur das Geheimnis” (Discourse on Thinking, 1966). Konon, Heidegger “tua” terpengaruh oleh seorang mistikus legendaris Jerman, Meister Eickhart, yang terkenal dengan doktrin Gelassenheit-nya yang sepadan dengan prinsip ketakmelekatan.
Politik dalam terang Heidegger tak jauh dari eksistensi manusia, seperti halnya bertani atau buruh sebagaimana yang ditampakkan oleh sepasang sepatu lawas dalam goresan Van Gogh (Poetry, Language, Thought, 1971). Sama sekali tak ada omong besar atau tetek-bengek ideologi di sana. Sebab, sebagaimana Husserl, Heidegger juga berpendapat bahwa dunia yang dialami oleh manusia pertama kali adalah dunia yang dihayati (lebenswelt) daripada dunia yang dipikirkan. Dengan kata lain, segala omong besar ideologis hanyalah salah satu mekanisme manusia untuk menipu dirinya sendiri—atau dalam kacamata Sartre, “mauvaise foi”—dari segala hasrat dasariahnya: patah hati, kebutuhan seksual, kecemasan, dst.
Heidegger, sebagaimana eksistensialisme pada umumnya, memang terkenal jujur dalam menyingkapkan karakteristik mendasar manusia. Keserupaan dengan para pemikir yang memandang manusia secara manusiawi memang dekat. Mulai dari Montagne, Nietzsche, Freud hingga Bataille, Klossowski, dan para posstrukturalis, Heidegger seperti menjadi salah satu simpul dari sanad keilmuannya. Dengan kata lain, Heidegger adalah juga seorang yang kritis pada modernisme dengan segala omong besarnya.
Yang membedakan Heidegger dengan para mahaguru kecurigaan lainnya adalah bahwa Heidegger meletakkan segala kemunafikan manusia tersebut sebagai sebentuk cara hidup (the mode of existence). Jadi, berbeda dengan Marx misalnya, yang berupaya merombak segala tatanan yang dirasa menghisap yang dalam sejarahnya justru menjelma seutas lingkaran setan penindasan, Heidegger secara sekilas justru seperti meletakkan segala aktivisme bukan sebagai bagian dari cara manusia untuk mengubah kehidupan yang dirasakannya tak sesuai dengan keinginannya. Tapi sebagai salah satu cara manusia dalam upayanya untuk secara lengkap menjadi dirinya sendiri dimana ironisnya, dalam Being and Time (1962), akan terjelang ketika ia mati. Karena itulah Heidegger menyingkapkan karakteristik mendasar manusia sebagai “Sein-zum-Tode.”
Dengan demikian, Heidegger lebih meletakkan drama kehidupan manusia sebagai proyek individual daripada sosial atau komunal—persis sebagaimana filosofi “Dhewek” dalam filsafat Jawa pesisiran (“Dhewek” dan Teologi Ketakmanjaan Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Sein-zum-Tode pada akhirnya menjadi karakteristik yang paling mendasar dari seorang anak manusia. Sebab, kematian adalah sebuah peristiwa yang sama sekali tak dapat diwakilkan dan digantikan.
Seorang manusia dapat memiliki kawan atau saudara yang tak terbatas, tapi satu hal yang pasti, ketika ia menghadapi kematian, ia memang sendirian. Dalam khazanah budaya Jawa peristiwa itu sering diungkapkan dengan ungkapan “Sonteg pisan anigasi”—seperti lelap sekejap yang dapat melenyapkan segala sesuatu. Kematian, setidaknya dalam diskursus, memang kerap dikaitkan dengan tidur. Dalam bahasa agama, sebagaimana yang acap dideraskan menjelang tidur, kematian itu terkesan seperti halnya tidur yang panjang tanpa jeda: “Dengan menyebut namaMu aku hidup dan dengan menyebut namaMu aku mati.”
Dalam keterlelapan dikala tidur kadang manusia mengalami penyingkapan bawah sadar yang disebut sebagai mimpi. Al-Ghazali suatu saat pernah menerangkan perihal hati yang memiliki dua pintu, satu mengarah ke alam dunia dan yang lainnya mengarah ke alam malakut (Wedhatama dan “Kuluban” di Bulan Ramadhan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Adapun bagi orang awam penyingkapan itu biasanya datang dalam bentuk mimpi. Freud mengartikan mimpi dalam kaitannya dengan bawah sadar manusia yang berisi hal-hal yang direpresi dimana pada akhirnya dapat menjadi sumber informasi keadaan psikologis yang dialami oleh seorang manusia. Dengan kata lain, status mimpi memang valid baik menurut al-Ghazali (dengan kacamata sufismenya) maupun Sigmund Freud (dengan kacamata psikoanalisanya).
Saya masih ingat perihal kisah seorang Abdurrahman Wahid, bahkan untuk menjadi seorang presiden sekalipun, yang tak dapat dilepaskan dari data-data yang bersumber dari mimpi. Pada titik inilah politik tak melulu bersifat rasional. Sejak mengamati perkembangan politik di Indonesia sejak pilpres 2014, saya berkesimpulan bahwa ternyata proses politik di Indonesia selama ini banyak menyajikan “kewirangan” dengan fenomena gerakan politik wis wani wirang-nya yang khas. Kita tentu ingat bagaimana dahulu pasangan Prabowo-Hatta, dengan dukungan finansial yang lebih kuat dan mesin-mesin politik yang jauh lebih militan (dimana yang sampai harus membuat Jokowi mengutip prinsip Ronggawarsita, “Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti”), tak dapat memenangkan kepercayaan publik yang luas.
Kita pun tentunya masih ingat pilpres 2019 lalu dimana gerakan politik wis wani wirang cukup menstrukturisasi diskursus perpolitikan kontemporer Indonesia laiknya menjelang dan sesudah pilpres 2014. Bagaimana seorang Prabowo-Sandi, dengan dukungan massa yang fanatik dengan klaim dan simbol-simbol “Islam”-nya; fenomena laskar “emak-emak” dan generasi “micin”-nya; para non-muslim yang bersimpati pada gagasan khilafah islamiyah dan ustadz-ustadz instannya yang radikal; berbarengan juga dengan aksi-aksi terorisme dalam bentuk purbanya atau premanisme; ghurur dan kepercayaan diri yang tinggi tokoh-tokoh pendukung di balik pasangan Prabowo-Sandi dengan segala pernyataan dan aksinya yang jauh dari rasional; kiprah para agamawan yang notabene radikal dengan segala klaim keistimewaannya yang seperti di atas segala hukum yang berlaku; seolah telah menjadi telenovela yang karib dengan kehidupan keseharian.
Belum lagi berbagai upaya yang kritis atau bahkan terlampau kritis pada pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin hingga mengancam segala anyaman keberagaman dan tertib sosial, semua ini seperti menegaskan kembali struktur politik wis wani wirang yang hidup sejak pilpres 2014. Dengan kata lain, diskursus perpolitikan Indonesia selama ini memang tak rasional.
Irasionalitas tentu saja tak selamanya negatif bagi sebuah proses politik. Sebab, bagi Heidegger, pada dasarnya “kebenaran” bukanlah seperti halnya dalam teori korespondensi, kesesuaian antara amatan dan hal yang diamati, tapi adalah “aletheia” atau ketersingkapan. Karena itulah, dengan terispirasi oleh Meister Eickhart, Heidegger memilih untuk bersikap “Gelassenheit zu den Dingen” (keterlepasan pada segala sesuatu) dan “Offenheit fur das Geheimnis” (keterbukaan pada misteri). Irasionalitas, untuk kemudian, tak berarti sebentuk ketakmasukakalan. Tapi adalah sebuah kenyataan yang merupakan hasil dari penangguhan segala asumsi dan judgment—seperti laku einklamerung dalam fenomenologi Husserl. Akankah politik penyingkapan dan gerakan politik wis wani wirang masih menjadi pilihan di tahun 2021 ini?