Sedang Membaca
3 Model Kekuasaan dari al-Khulafa ar-Rasyidun ke Muawiyah
Ulummudin
Penulis Kolom

Mahasiswa Studi al-Qur'an dan Hadis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

3 Model Kekuasaan dari al-Khulafa ar-Rasyidun ke Muawiyah

Model Kekuasaan (foto Sumber Nu.or.id)

Setelah Nabi Muhammad saw meninggal, tampuk kepemimpinan umat Islam diteruskan oleh Abu Bakar yang disusul oleh Umar, Usman, dan Ali. Masa tersebut dikenal dengan “al-Khulafa al-Rasyidun”. Kemudian, setelah kepemimpinan Ali, umat muslim memasuki fase baru dengan nama dinasti Umayyah. Fase ini sangat berbeda dengan masa sebelumnya dalam memandang kekuasaan. 

Perbedaan tersebut terekam dalam tiga kisah yang menggambarkan perkembangan model kekuasaan yang rentang waktunya relatif tidak lama. Kisah ini mempunyai topik yang sama, tetapi disikapi secara berbeda oleh tiga khalifah pada masa Khulafa al-Rasyidin dan dinasti Muawiyah.   

Kisah pertama

Pada tahun 20 H, Umar bin Khattab  berkhutbah di mimbar Rasul di kota Madinah. Ketika itu, ia berbicara soal peranan masyarakat dalam lurusnya dan pelurusan seorang pemimpin. Ia lalu disanggah seorang Arab Badui:

“Demi Allah, kalau kami menemukan ada yang bengkok dalam kepemimpinanmu, kami akan meluruskannya dengan pedang!” Mimik Umar tetap bersahaja mendengarkannya. Ia kemudian mengucap syukur kepada Allah sambil melontarkan ungkapannya yang sangat terkenal:

“Puji syukur kepada Allah yang tetap menyisakan di kalangan rakyat Umar orang-orang yang akan meluruskannya dengan pedangnya yang tajam.”

Kisah kedua

Pada tahun 45 H, Ibnu ‘Auf mengisahkan bahwa seorang lelaki menegur Muawiyah:

Baca juga:  Sejarah dan Polemik Azan dengan Pengeras Suara

“Demi Allah, hendaknya engkau bertindak lurus terhadap kami wahai Muawiyah atau justru kami yang akan meluruskanmu!”

Muawiyah menanggapi, “Dengan apa engkau akan meluruskanku?” “Dengan kayu” sahut lelaki itu. “Kalau begitu, kita akan sama-sama meluruskan diri” kata Muawiyah.

Kisah ketiga

Pada tahun 75 H, Abdul Malik bin Marwan berpidato di atas mimbar Rasulullah saw di kota Madinah setelah terbunuhnya Abdullah bin Zubair.

“Demi Allah, janganlah sekali-kali ada yang mengatakan kepadaku untuk bertakwa kepada Allah setelah pidatoku ini jika tidak ingin ku tebas tengkuknya!” ancam Marwan sambil berlalu. 

Walaupun pendek, ketiga kisah di atas mempunyai makna yang sangat dalam. Kisah-kisah tersebut menggambarkan tiga perkembangan gaya dalam memerintah. Kisah pertama mewakili periode kegemilangan masa Khulafa al-Rasyidin oleh Umar bin Khattab. Sementara, kisah kedua menandai awal kepemimpinan dinasti Umayyah oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Kisah ketiga menghadirkan Abdul Malik bin Marwan sebagai Khalifah Umayyah yang paling menonjol dari keluarga Marwan. 

Melalui kisah pertama, kita dapat menangkap ketulusan Umar, seorang Khalifah kepada rakyatnya. Ia terbuka dengan kritik dan siap dengan segala konsekuensinya. Tebasan pedang pun akan diterimanya jika ia tidak amanah dalam mengemban tugasnya sebagai pemimpin umat Islam. Bahkan, ia memuji seorang Badui yang mengingatkannya dengan ancaman pedang.

Baca juga:  Ganja dalam Literatur Islam

Sementara, pada kisah kedua terjadi adanya pergeseran sikap. Kisah ini lebih kepada permainan kata yang mengadu mental antara Muawiyah dengan lelaki yang mengingatkannya. Peringatan yang bernada ancaman seketika berubah menjadi guyonan ketika Muawiyah bertanya balik “Dengan apa?”.

Tanggapan Muawiyah cukup memukul mental laki-laki tersebut. Ia lantas menjawab bahwa ia akan meluruskan Muawiyah dengan kayu. 

Pengingat mengerti dengan konsekuensi jika ia menjawab dengan pedang seperti yang dilakukan oleh Badui kepada Khalifah Umar pada kisah pertama. Dengan menyebut kayu sebagai senjata, ia berhasil meredakan emosi Muawiyah.

Dari kisah tersebut, ada kesan bahwa lelaki itu sedang mengatakan sesuatu, tetapi menginginkan hal lainnya. Muawiyah pun menyembunyikan sesuatu yang dapat dipahami oleh mereka berdua. Laki-laki tersebut lebih memilih sikap aman walaupun tidak puas dengan kepemimpinan Muawiyah. 

Kisah ketiga mempunyai persamaan dalam hal kejelasan dan keterusterangan dengan kisah pertama. Akan tetapi, kisah ini adalah kebalikan dari respons Umar terhadap seorang Badui yang memperingatkannya. Abdul Malik bin Marwan justru mengancam orang-orang yang bahkan mengingatkannya untuk bertakwa kepada Allah dengan tebasan pedangnya. Ia sama sekali tidak menerima kritik dari siapapun. Dengan demikian, ia menunjukkan sikap semena-mena yang lebih mirip dengan seorang diktator. 

Menurut Farah Fouda, ketiga kisah di atas menjelaskan dua poin penting. Pertama, kisah-kisah tersebut memperlihatkan perkembangan model kekuasaan dari masa al-Khulafa al-Rasyidun ke masa Muawiyah. Kedua, kisah-kisah itu menggambarkan situasi ketika sebuah dinasti sudah berdiri, tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan dari kekuasaan. 

Baca juga:  Di Vrije Universiteit Amsterdam, Ada Fragmen Manuskrip Kaligrafi dan Cap Pribadi Syaikhona Kholil Bangkalan

Selain itu, ketiga kisah itu merepresentasikan tiga model sikap penguasa sekaligus yakni keadilan yang tegas (Umar), ketegasan yang ramah (Muawiyah), dan kedigdayaan yang menindas (Abdul Malik bin Marwan). Semua itu terjadi dalam kurun waktu yang tidak lebih dari setengah abad. Melalui kisah tersebut, kita dapat melihat bahwa setelah era Khulafa al-Rasyidin kekuasaan dalam Islam berubah menjadi dinasti politik yang terkadang otoriter.  

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top