Walaupun esai saya (masih) sering ditolak Alif.ID, itu sama sekali tidak membuat semangat menulis saya kendur. Justru malah semakin terpacu untuk menaklukkannya. Semangat menulis seperti itulah yang saya coba teladani dari seorang Ajip Rosidi, sastrawan cum budayawan yang beberapa hari lalu berpulang.
Pak Ajip Rosidi, dulu pernah mengajar di Jepang. Tidak hanya di satu kampus, tapi sampai tiga kampus, kalau saya tidak keliru. Pengalaman kepengajarannya yang sampai ke luar negeri itu besar kemungkinan karena kompetensi beliau yang sungguh hebat dalam hal bahasa dan sastra. Dan itu beliau dapatkan bukan dari bangku sekolah akademik, karena beliau tidak lulus SMA alias drop out.
Bisa dibayangkan bagaimana “canggih”-nya beliau? Anda bayangkan saja seorang yang tidak lulus SMA tapi bisa mengajar di sejumlah universitas di Jepang, juga tercatat pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan banyak kampus Indonesia lainnya sebagai dosen tamu. Bahkan, di tahun 80-an beliau diundang ke Jepang dan dianugerahi guru besar tamu. Sekali lagi, bisa Anda bayangkan?
Saya pribadi membayangkannya saja bingung. Sebesar apa kapasitas otak beliau sehingga bisa menjadi orang besar dengan karya dan kiprahnya tanpa keterangan lulus dari sekolah atau universitas besar. Orang besar saya definisikan sebagai pribadi yang mampu mencetak blue-print dokumentasi karya dan jasanya.
Sehingga namanya harum dan termasuk yang disebut-sebut ketika suatu bidang keilmuan diperbincangkan. Dan, Ajip Rosidi termasuk orang besar itu.
Ajip Rosidi tidak kuliah, tapi bisa jadi dosen. Bahkan mungkin banyak dosen yang belajar kepada beliau, menjadikan karya-karya beliau sebagai bahan kajian penelitian. Sudah pasti itu, pasti. Lebih unik lagi banyak buku-buku bahasa dan sastra Indonesia atau Sunda yang memakai buku Ajip Rosidi sebagai rujukan pelajaran. Menarik, kan. Ajaib sekali Pak Ajip.
Ada keresahan personal yang saya rasakan ketika membaca lebih jauh tentang Ajip Rosidi. Pertama, saya orang Sunda. Saya seperti punya tanggung jawab lebih untuk melanjutkan perjuangan Pak Ajip Rosidi dalam merawat dan mengembangkan sastra dan kebudayaan Sunda. Kedua, saya kuliah di jurusan Sastra Indonesia. Makin mampus dan insecure saya.
Kedua hal itu adalah perpaduan antara tanggung jawab sosial dan intelektual. Pak Ajip, yang dilahirkan di tanah Sunda, sangat berhasil melakukan dua tanggung jawab itu. Ia secara sosial sangat terkenal, masyhur. Secara karya intelektual di jagad akademik pun diakui.
Membaca Ajip Rosidi lebih jauh, termasuk melalui obituari-obituari orang tentangnya, membuat saya bangga, termotivasi, sekaligus insecure dalam waktu bersamaan.
Saya bangga bahwa ada orang Sunda seluar biasa beliau; punya reputasi nasional bahkan internasional. Termotivasi karena barangkali sedikit-sedikit bisa mengikuti jejak beliau, meneladani ketekunan dan pengabdiannya. Insecure karena masih merasa sangat jauh kapabilitas yang harus saya kejar.
Tentang perasaan insecure, tidak apa-apalah. Seorang sastrawan besar seperti Ajip Rosidi pun pasti pernah mengalami kekhawatiran dan ke-insecure-an. Mungkin sih, ya tidak apa-apalah, saya berkata begitu untuk menghibur dan meyakinkan diri saja.
Kepergian Ajip Rosidi merupakan berita yang menyedihkan, khususnya bagi insan kesusastraan Indonesia. Tapi, dibalik itu, terdapat pelajaran besar yang berharga bagi saya dan banyak orang. Orang-orang jadi kembali menelusuri karya dan pelajaran hidup Ajip Rosidi. Dan mungkin bagi sedikit orang yang belum tahu siapa beliau, menjadi tahu bahwa pernah ada sastrawan sehebat dan seproduktif beliau.
Menurut saya, mahasiswa, terlebih mahasiswa Sastra harus menjadikan sosok Ajip Rosidi sebagai sarana refleksi diri. Bahwa beliau saja, Ajip Rosidi, bisa berkontribusi sangat besar bagi dunia kesusastraan Indonesia. Beliau tidak hanya menulis cerpen, puisi, dan naskah drama, tapi juga mendirikan yayasan, sejumlah perpustakaan, dan pernah menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI).
Kalau berlagak ala Mario Teguh, mungkin akan bernada seperti ini:
“Pak Ajip Rosidi saja yang tidak belajar sastra secara akademis di kampus bisa sebegitu hebatnya, masa kalian tidak bisa? Nggak cuma itu, beliau sangat mencintai bacaan, sampai punya perpustakaan pribadi dan umum. Masa kalian masih ada yang tidak suka baca buku?”
Semoga mahasiswa tidak malah nge-down atau insecure diberi pertanyaan menghentak gaya Mario Teguh itu. Tapi terlecut dan termotivasi untuk bisa belajar lebih rajin, lebih tekun, agar terlahir Ajip Rosidi-Ajip Rosidi baru.
Terima kasih Pak Ajip Rosidi, telah membukakan kesadaran bagi anak muda, khususnya mahasiswa, lebih khusus lagi mahasiswa Sastra untuk belajar lebih giat. Semoga tenang di sana, Pak.