Sebagai agama yang berlandaskan pada naskah transenden, Islam begitu fokus pada pembahasan bahasa. Naskah-naskah transenden yang dibawa olehnya, sekaligus sebagai landasan utama hukum, diturunkan dengan bahasa, bahasa Arab. Hal yang menjadi permasalahan adalah keadaan bahasa Arab itu sendiri, dengan segala keistimewaan bahasa yang dibawa olehnya. Keistimewaan ini tidak bisa kita analogikan begitu saja dengan bahasa yang kita miliki. Lantas seberapa jauh pembahasan bahasa dikaji bahkan menjadi fokus dalam ilmu Ushul Fiqih?
Ushul Fiqih adalah ilmu yang berdiri di atas beberapa pondasi. Setidaknya ada tiga ilmu yang menjadi pondasi utama, ilmu kalam, ilmu bahasa dan kemampuan untuk mengilustrasikan hukum. Dalam bukunya, Prof. Dr. Mahmud Abdurahman menambahkan bahwa pondasi Ushul Fiqih tidak hanya terdiri dari tiga bagian tadi. Ada banyak sekali ilmu yang merupakan pondasi dari Ushul Diqih. Tiga diantaranya seperti telah disebutkan, disamping juga ada hal lain seperti Al-Qur’an dan sunnah, Maqashidus Syariah dan lainnya yang juga menjadi pondasi Ushul Fiqih (lihat: Prof. Dr. Mahmud Abdurahman, Durus fi Târîkhi Ilmi Usûlil Fiqhi, hal: 56).
Dari keterangan tersebut, ilmu bahasa arab menjadi bagian penting dalam konstruksi metodologi pengambilan hukum Islam. Meskipun secara kuantitatif, pembahasan bahasa tidak begitu mengambil porsi besar untuk sampai bisa dikatakan mendominasi, akan tetapi secara substansi ia seperti menjadi penggerak utama. Kasusnya hampir sama dengan ilmu kalam yang mana ia seperti ruh bagi metodologi pengambilan hukum Islam (Ushul Fiqih).
Keterkaitan pembahasan bahasa dengan sumber utama agama Islam, Al-Qur’an dan Sunnah, sangatlah lekat. Setelah selesai dengan pergulatan hujjah keduanya, maka kita akan segera masuk pada pembahasan bahasa. Hal ini terjadi dikarenakan untuk kita sampai pada apa yang diinginkan Syari’ dalam kedua wahyu-Nya, harus ditelisik dari segi bahasa. Di sini tidak hanya pembahasan seputar kulit dari apa yang disampaikan, dengan menggunakan ilmu nahwu dan saraf, lebih dari itu, untuk sampai pada sesuatu yang dimaksudkan, dibutuhkan juga ilmu Adab (lihat: hal 61).
Ilmu Adab atau bisa juga diartikan ilmu Balaghah merupakan satu perangkat penting dalam memahami Al-Qur’an. Kriteria bahasa Arab yang digunakan dalam Al-Qur’an sangatlah dalam. Karakter yang dibawanya pun tidaklah sama dengan bahasa Arab yang biasa digunakan. Dengan demikian, melacak makna Al-Qur’an hanya dengan mengetahui arti harfiah, justru akan menghilangkan relevansi Al-Qur’an itu sendiri. Disini kita membutuhkan analisis konteks, ithlaq, taqyid, tahsis dan lainnya yang sedikit banyak menjadi pembahasan ilmu Balaghah.
Di sini ada hal yang cukup menarik. Dikatakan bahwasanya: “Jika Ushul Fiqh memiliki pondasi seperti apa yang telah disebutkan, lantas apa urgensi ilmu Ushul Fiqih? Kalau memang kita sudah mampu menganalisis dalil-dalil yang ada dengan ilmu yang menjadi pondasi.” Statemen demikian tidak bisa kita salahkan sepenuhnya, juga tidak bisa kita membenarkannya. Tidak dikatakan salah karena memang dengan ilmu bahasa kita bisa melacak maksud Syari’ dalam Al-Qur’an dari segi konteks. Akan tetapi ia juga tidak bisa dikatakan benar, karena kemampuan yang dimiliki oleh ilmu bahasa, misalnya, tidak bisa mencapai apa yang bisa dicapai oleh ilmu Ushul Fiqih. Ilmu bahasa mampu untuk menganalisis seberapa jauh dan banyak makna yang memungkinkan, akan tetapi untuk sampai tahap menghasilkan sebuah hukum A, misalnya, ia hanya bisa kita lakukan dengan pisau Ushul Fiqih.
Meski demikian kita sama sekali tidak bisa menafikan urgensi ilmu bahasa dalam konstruksi metodologi penggalian hukum Islam. Begitu juga ketika kita menilik sejarah. Imam Asy-Syafi’i yang notabene sebagai peletak pertama ilmu Usûl fikih, ia dibesarkan justru di daerah pedalaman. Tujuannya jelas, untuk mendalami pemahaman bahasa Arab. Ia dibesarkan dalam lingkungan suku Hudhail. Ia merupakan suku yang kala itu masih sangat memegang teguh budaya bahasa Arab. Dengan kepakaran bahasa yang dimiliki Asy-Syafi’i dalam bidang bahasa, serta kepakaran lainnya, maka muncullah metodologi pengambilan hukum Islam atau yang sering kita kenal dengan ilmu Ushul Fiqih.
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah seputar sumber hukum Islam selain Al-Qur’an dan Sunnah. Bagaimana dengan sumber lain seperti Ijma’, Qiyas, Maslahah serta lainnya. Apakah bahasa memiliki peranannya?
Selain Al-Qur’an dan Sunnah, memang kita ketahui masih banyak sumber lain dalam pengambilan hukum syariat. Empat sumber yang disepakati, sepuluh atau bahkan lebih sumber yang memang ulama tidak sepakat akan hujjiah-nya. Akan tetapi, dari kesemua sumber yang ada, pelabuhan akhirnya adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Untuk bisa dikatakan sumber tersebut legitimed maka harus mendapat afirmasi dari ke-dua sumber utama, khususnya Al-Qur’an. Bahkan Sunnah pun mendapat afirmasi dari Al-Qur’an sebagaimana dalam surah An-Nisa ayat 80, 59, surah Ali Imran ayat 31 dan masih banyak lainnya (lihat: Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, Ushulul Fiqhi al Islami, juz 1 hal 437). Begitu juga dengan ijma’, ayat yang mengafirmasi ialah ayat ke 115 dari surât an-Nisa (lihat: Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, hal 142). Begitulah seterusnya hingga sumber-sumber yang tidak disepakati sekalipun.
Di samping sekedar legitimasi, sumber-sumber selain Al-Qur’an dan Sunnah juga tidak pernah bisa lepas dari keduanya. Teori Qiyas misalanya, meskipun ia terkesan aqli, akan tetapi untuk sampai pada taraf analogi maka ia juga kembali ke Al-Qur’an dalam menilik hukum asl-nya. Ijma’ pun demikian, sesuatu yang disepakati, sehingga kemudian menjadi ijma’ itu harus memiliki landasan, salah satunya adalah Al-Qur’an. Maslahah misalnya, kemaslahatan yang telah diteorikan oleh para ulama landasannya pun hasil dari istiqra’ terhadap ayat-ayat Al-Qur’an serta Sunnah.
Jadi, jika demikian adanya, dan sebagaimana kita ketahui di awal, pembahasan, pengupasan serta pemahaman akan maksud dari Al-Qur’an, demikian juga Sunnah, harus terhenti jika tidak mengetahui bahasa dan ilmunya maka disini pembahasan bahasa telah mendapat urgensinya bagi ilmu Ushul Fiqih.