Saya masih ingat betul, dulu di tahun pertama mondok di Futuhiyyah Mranggen, tahun 2006, saya mendapatkan secarik kertas dari seseorang yang tidak saya kenal yang berisi seruan untuk meningkatkan ibadah kita. Di lembar foto kopi itu dijelaskan bahwa penjaga makam nabi di Madinah telah bermimpi bahwa dunia tidak akan lama lagi dan karenanya kita harus meningkatkan ibadah kita. Orang yang memberi selebaran berpesan supaya saya menggandakan kertas itu dan menyebarluaskan kepada minimal sepuluh orang.
Saya masih polos dan selebaran itu saya fotokopi sepuluh lembar dan saya sebarluaskan di pasar Mranggen. Para kusir yang sedang menunggu penumpang di timur pasar tidak luput dari perhatian saya. Demikian pula ibu-ibu yang waktu itu menjual celana dalam seharga 12 ribu dapat tiga langganan saya dan beberapa teman. Seingat saya mereka menerima selebaran itu tanpa memprotesnya meskipun saya tidak tahu apakah mereka menganggapnya penting atau tidak.
Apa yang saya alami ternyata bukanlah sesuatu yang baru. Kita akan berbicara tentang sesuatu yang menjadi tren pada tahun-tahun sebelum apa yang oleh Sartono Kartodirdjo sebut dengan “Pemberontakan Petani Banten” tahun 1888. Sebenarnya ini adalah bagian dari cara saya mengikat ingatan saya tentang buku ini, tetapi tentu saya tidak akan membahas pemberontakan itu secara detil.
Apa yang terjadi sebelum pemberontakan petani Banten?
Pemberontakan itu dilatari banyak unsur, mulai dari ekonomi, politik, hingga agama. Dua unsur yang pertama tidak kita diskusikan di sini. Kita akan mengulas sedikit tentang “revivalisme agama” atau kebangkitan agama. Maksudnya kurang lebih adalah peningkatan sikap keberagamaan seseorang, dalam hal ini Islam.
Saya melebar sedikit. Abad 19 adalah abad yang penuh perjuangan. Kita tahu tahun 1925-1930 terjadi “Perang Jawa” yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Dari “Jejaring Ulama Diponegoro”-nya Zainul Milal Bizawi, kita tahu bahwa Perang Jawa adalah kolaborasi kaum ksatria dengan kaum santri melawan kolonialisme. Setelah Diponegoro dipecundangi Belanda dan dibuang, Belanda menerapkan aturan yang ketat terhadap orang Islam. Satu di antaranya adalah yang dulu di Sekolah Dasar kita sebut cultuurstelsel atau tanam paksa.
Beberapa dasawarsa setelah Perang Jawa, muncul pemberontakan di Banten. Pemberontakan atau (barangkali yang lebih tepat) perlawanan itu diinisiasi oleh para kiai yang terafiliasi ke dalam tarekat Qodiriah wa Naqsyabandiyah. Satu kiai yang dinilai mempunyai peran besar dalam “Geger Cilegon” itu adalah Syekh Abdul Karim.
Syekh Abdul Karim adalah murid Syekh Khotib Sambas yang kemudian menggantikan kedudukannya sebagai “rois aam” (ini istilah saya saja) tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Sebaga tambahan, sanad tarekat Kiai Muslih Mranggen bersambung ke Syekh Abdul Karim melalui dua jalur, yakni jalur Kiai Abdurrahman Menur-Kiai Ibrahim Brumbung-Syekh Abdul Karim dan jalur Syekh Abdul Latif-Kiai Asnawi Caringin-Syekh Abdul Karim.
Kita kembali ke revivalisme agama. Ada empat penanda revivalisme agama, yaitu: meningkatnya jumlah orang yang haji, merebaknya pondok pesantren, ramainya masjid dan musala, dan kebangkitan “mistisisme Islam” yang menjelma dalam tarekat.
Haji di masa itu bukanlah sekadar rukun Islam. Lebih jauh, haji adalah sarana pertukaran gagasan umat Islam dari pelbagai negeri. Orang-orang Nusantara yang lama di Makkah, biasanya tidak hanya alim (karena belajar dengan tokoh Islam terkemuka di Haromain) tetapi juga memiliki sifat yang antipati dengan penjajah. Sentimen kolonial itu kemudian dibawa oleh para haji dan disebarluaskan kepada tetangga-tetangganya di kampung.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau perlawanan-perlawanan orang Islam biasanya dipimpin oleh seorang haji. Dalam rangka mengidentifikasi “pemberontak-pemberontak” itulah Belanda kemudian membubuhkan gelar haji pada nama “alumnus Makkah”. Haji sempat dibatasi, tetapi semakin dibatasi keinginan Muslim untuk haji justru semakin besar.
Tahun-tahun itu juga banyak berdiri pesantren. Sekadar mengambil contoh, Pesantren Tebuireng adalah salah satu pesantren yang berdiri di akhir abad 19. Kita bisa membuktikan bahwa banyak pesantren, bahkan pesantren yang eksis sampai sekarang, didirikan tahun 1800 akhir atau awal 1900. Itu mengafirmasi adanya “revivalisme agama”.
Lalu masjid-masjid dan musala-musala mulai ramai. Bahkan kita sering mendengar cerita kakek-kakek kita bahwa dulu mereka lebih sering tidur di surau ketimbang di rumah. Kemudian tarekat semakin diminati. Selain murid Syekh Abdul Karim yang membawa Qodiriah wa Naqsyabandiyah, banyak pula murid Sulaiman Zuhdi atau Sulaiman Effendi yang membawa tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah.
Dua di antara penyebar tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah adalah Kiai Muhammad Hadi Girikusumo dan Kiai Ilyas Purwokerto. Mbah Hadi adalah ayah Kiai Mansur Popongan yang mana nama terakhir itu punya murid Kiai Arwani Kudus dan Kiai Khafid Rembang; keduanya pernah menduduki rois aam Jam’iyyah Ahli Thariqah Al Mu’tabarah.
Revivalisme Islam itu diikuti dengan adanya selebaran dari Makkah yang isinya dikenal dengan “Peringatan Terakhir dari Nabi”. Sebagaimana selebaran yang dulu pernah saya terima dan sebarluaskan di Pasar Mranggen, selebaran itu pada intinya berpesan supaya lebih meningkatkan ibadah kita. Ternyata selebaran yang saya terima tahun 2006 itu sudah ada sejak tahun 1880-an, menjelang pecahnya “Geger Cilegon”. Wallahu a’lam.