Akhir-akhir ini seringkali kita terjebak pada perdebatan yang sudah diselesaikan oleh ulama terdahulu. Kita memperdebatkan bendera Rasulullah saw, masalah isbal, jenggot, tahlil hingga maulid. Mengapa diperdebatkan?
Tidak perlu, menurut hemat saya, membuang waktu mendebatkan hal itu. Sebab, sebenarnya hal tersebut sudah selesai diracik secara apik oleh para ulama di dalam kitab-kitab karangannya. Tinggal kita saja sekarang, “apakah kita mau menelaahnya atau mengaji pada ahlinya?”
Jika direnungi, bukankah waktu dan pikiran kita habis dengan hal tersebut. Alangkah baiknya kita memikirkan bagaimana muslim Indonesia menjadi lebih dewasa, memajukan kualitas keilmuan, pertahanan dan perekonomian.
Belajar dari penjelasan Imam asy-Syafi’i dari kitab ar-Risalah, ketika beliau menjelaskan teks Alquran. Di sana Imam asy-Syafi’ie memaparkan ayat tentang puasa di bulan Ramadan, yaitu:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Menurut asy-Syafii, “Aku tidak mengetahui seorang pun dari ulama ahli hadis sebelum kami yang berusaha keras untuk meriwayatkan dari Nabi saw, bahwa bulan yang diwajibkan puasanya adalah bulan Ramadaan yang terletak antara bulan Syaban dan Syawal. Karena mereka mengetahui waktu bulan Ramadan di antara bulan-bulan yang lain dan merasa cukup bahwa Allah mewajibkannya.”
Dalam paragraf di bab itu pula Imam asy-Syafii berkata, “Saya juga tidak mengetahui seorang pun dari para ulama yang membahas tentang bulan Ramadaan, bulan apakah ini? apakah wajib (puasa) atau tidak? Namun mereka lebih fokus kepada permasalahan bagaimana cara menggantinya, bagaimana menjaga puasa bulan Ramadan dan bagaimana hukum tidak berpuasa di dalamnya
Penjelasan Imam asy-Syafii di atas mengindikasikan bahwa perkara yang umum diketahui, tidak didebatkan lagi oleh mereka.
Guru saya menambahkan catatan dalam perkataan beliau, hendaknya kita merenungi penjelasan Imam asy-Syafii tersebut. Kita lebih sering terlibat dalam perdebatan yang kontra produktif. Padahal ada permasalahan lain yang lebih membutuhkan pemikiran dan tenaga demi sebuah kemaslahatan.
Contohnya saja, simbol-simbol keagamaan yang akhir-akhir ini lebih dikedepankan dari substansinya. Bukankah tak cukup memahami agama dari simbol saja, sehingga melupakan nilai-nilai di dalamnya, bahkan lupa akan mempelajari “nilai”. Yang terparah lagi, menggunakan doktrin-doktrin agama untuk menyulut kebencian.
Tanggal 9 Desember kemarin adalah hari yang ditetapkan oleh PBB sebagai hari antikorupsi sedunia. Disanalah upaya kita untuk menyuarakan dan mengerahkan pikiran bagaimana agar korupsi di Indonesia dapat dipersedikit angkanya.
Setidaknya, kita berpikir dewasa, bagaimana korupsi dapat diminimalisir, bahkan dihilangkan. Dilansir dari buletin Al-Fata, ada tida faktor penting yang dapat dijadikan modal dasar untuk memberantas korupsi.
Pertama, internalisasi nilai-nilai keberagamaan beragama, bukan persoalan simbolikum. Perilaku koruptif dapat dihindari jika kita mengamalkan nilai-nilai agama. Bukankah Allah Swt dan RasulNya sangat mengecam perbuatan korupsi. Disebutkan dalam alquran:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (An-Nisa: 29)
Kedua, memperluas resonansi gerakan antikorupsi lewat kanal digital. Melihat prpos warga millenial Indonesia yang tembus 88 juta di tahun ini, sudah sepatutnya warga kita dilibatkan dalam mengawasi laporan kekayaan pribadi para pejabat melalui kanal-kanal digital.
Ketiga, memperkuat kohesivitas kelompok gerakan antikorupsi. Gerakan antikorupsi di Indonesia yang berdiri secara sukarela di belakang KPK sebenarnya banyak, tinggal memperkuat mereka dengan beberapa amunis dan pendekatan, diantaranya dengan pendekatan moralitas-teologis.
Ketiga modal dasar diatas adalah hasil dari pemikiran yang membantu bagaimana nasib Indonesia kedepan supaya terhindar, sedikit demi sedikit dari tindakan korupsi. Jika dibandingkan dengan meributkan arena perbedaan.
Banyak hal-hal lain juga yang lebih urgen kita cari jalan keluarnya. Bagaimana langkah Indonesia ke depan dalam memakmurkan masyarakatnya, memberi pendidikan kepada masyarakat yang tidak mampu, mengatasi kemacetan yang semakin membengkak, membangung rumah sakit di berbagai daerah terpencil, mempermurah bahkan menggratiskan biayanya.
Oh, rupanya masih banyak lagi, sudahkah kita peduli?