Di perempatan jalan dusun Krajan desa Sidomulyo, Silo, Jember, malam satu Suro selalu menghadirkan kehangatan yang berbeda. Suara doa dan lantunan tahlil menggema, mengiringi aroma nasi gurih dan kembang setaman yang tersusun rapi dalam takir sederhana. Tradisi Baritan, ritual syukur tahunan yang telah berlangsung turun-temurun, menjadi ajang masyarakat untuk merenung, berdoa, dan merayakan keberkahan hidup. Namun, Baritan tidak hanya berbicara tentang syukur, melainkan juga sebuah ingatan kolektif akan jasa Gus Dur, tokoh yang membangun pondasi keberkahan itu.
Sidomulyo adalah desa kecil di Jember yang kini dikenal sebagai salah satu wilayah agraris yang subur. Tapi, perjalanan menuju kemakmuran ini bukan tanpa cerita. Pada masa lalu, hutan di Sidomulyo hanya berfungsi sebagai belantara tanpa manfaat nyata bagi masyarakat. Saat Gus Dur maju menjadi presiden dengan keberanian dan visi besar. Ia membuka membebaskan lahan yang sebelumnya di akuisisi pemerintah dan tak tergarap kemudian diserahkan kepada masyarakat untuk dikelola. Langkah ini tidak hanya menciptakan sumber kehidupan baru, tetapi juga menjadi bukti nyata keberpihakan Gus Dur kepada wong cilik.
Masyarakat Sidomulyo tak melupakan jasa besar ini. Dalam setiap Baritan, haul Gus Dur menjadi bagian penting dari prosesi, simbol rasa syukur atas lahan yang kini menghidupi mereka. “Tanpa Gus Dur, Sidomulyo tidak akan seperti sekarang,” ujar seorang tetua desa, mengingatkan betapa besarnya peran Gus Dur dalam kehidupan mereka. Haul ini bukan sekadar ritual, melainkan ungkapan penghormatan yang mendalam, sejalan dengan ajaran Islam untuk mengenang mereka yang telah berjasa.
Baritan: Tradisi Syukur dan Harmoni
Baritan adalah ekspresi syukur kolektif yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Sidomulyo. Di malam satu Suro, warga berkumpul di perempatan jalan, membawa takir berisi nasi gurih, nasi kuning, dan kembang setaman. Perempatan dipilih bukan tanpa alasan; bagi mereka, tempat ini adalah simbol datangnya rezeki dari segala penjuru sekaligus titik tolak bala.
Prosesi dimulai dengan tahlil dan doa bersama yang dipimpin oleh sesepuh desa. Setelah itu, berbagai doa dipanjatkan untuk keselamatan dan keberkahan di tahun yang baru. Tradisi ini tak hanya diikuti oleh umat Muslim, tetapi juga oleh warga Kristen setempat, yang hadir untuk merasakan kebersamaan dan harmoni. Di Sidomulyo perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk saling berbagi rasa Syukur dengan keyakinannya masing-masing.
Tradisi Baritan mencerminkan bagaimana ajaran Islam berintegrasi dengan kearifan lokal. Simbol-simbol seperti kembang setaman dan air dari tujuh sumur mengingatkan masyarakat akan hubungan erat antara manusia dan alam. Dalam Islam, menjaga harmoni dengan alam adalah bagian dari rasa syukur kepada Sang Pencipta. Baritan mengajarkan bahwa syukur tidak hanya dilakukan melalui doa, tetapi juga melalui kesadaran kolektif untuk menjaga keseimbangan dengan lingkungan.
Gus Dur dalam Doa dan Ingatan
Haul Gus Dur adalah elemen yang membuat Baritan di Sidomulyo berbeda dari tradisi serupa di tempat lain, walau haul gusdur tidak bertepatan pada malam satu suro tetapi Masyarakat melaksanakan haulnya Bersama dengan acara baritan. Setiap tahun, masyarakat mengingat Gus Dur dalam doa mereka, menegaskan bahwa jasa-jasanya tetap hidup dalam ingatan kolektif. Bagi mereka, Gus Dur adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah desa.
Haul ini juga menjadi wujud nyata ajaran Nabi Muhammad SAW tentang pentingnya mengenang kebaikan orang lain sebagai bagian dari rasa syukur. Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda, “Barang siapa tidak pandai berterima kasih kepada manusia, berarti ia belum bersyukur kepada Allah” (HR. Tirmidzi). Melalui haul Gus Dur, masyarakat Sidomulyo menjalankan syukur dalam dua dimensi: horizontal, kepada sesama manusia, dan vertikal, kepada Allah SWT.
Bagi masyarakat, haul ini juga menjadi pengingat akan pentingnya kepemimpinan yang memihak kepada rakyat kecil. Gus Dur, dalam pandangan mereka, adalah pemimpin yang tak hanya membela hak mereka, tetapi juga memberikan mereka kesempatan untuk hidup lebih baik. “Gus Dur tidak hanya membuka hutan, tetapi juga membuka jalan bagi kami untuk memiliki masa depan,” ujar Pak Siren seorang petani kopi.
Tradisi Baritan tak hanya berfungsi sebagai penghubung antara masa lalu dan masa kini, tetapi juga sebagai simbol harmoni di tengah keragaman. Kehadiran umat Kristen dalam prosesi ini mencerminkan bagaimana pesan Gus Dur tentang toleransi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Sidomulyo. Toleransi ini tidak hanya menjadi wacana, tetapi juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
“Gus Dur selalu mengajarkan bahwa perbedaan adalah rahmat,” kata Mbah Mur Seorang Pangarsa Baritan. Pesan ini terlihat jelas dalam Baritan, di mana semua orang, terlepas dari latar belakang agama mereka, bersatu untuk merayakan syukur dan kebersamaan. Kehadiran ini memperkuat nilai-nilai Islam yang universal, seperti ukhuwah, tawakal, dan syukur, yang menjadi inti dari tradisi ini.
Simbol-simbol dalam Baritan, seperti kembang setaman dan air dari tujuh sumur, memiliki makna mendalam. Kembang setaman, yang terdiri dari bunga-bunga berwarna-warni, melambangkan keberagaman yang indah. Sementara itu, air dari tujuh sumur adalah simbol keberkahan dan kesucian, mencerminkan harapan masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik di tahun yang baru.
Di tengah modernisasi yang sering kali mengikis tradisi lokal, Baritan tetap hidup dan relevan. Bagi masyarakat Sidomulyo, Baritan bukan sekadar ritual tahunan, melainkan cara untuk merawat hubungan dengan Tuhan, manusia, dan alam. Tradisi ini mengajarkan bahwa syukur adalah bahasa universal yang mampu menyatukan perbedaan.
Haul Gus Dur dalam Baritan juga mengajarkan bahwa keberkahan tidak hanya datang dari doa, tetapi juga dari penghormatan kepada mereka yang telah berjasa. Gus Dur, dalam kenangan masyarakat Sidomulyo, adalah simbol kebaikan yang terus menginspirasi. Dengan mempertahankan tradisi ini, masyarakat Sidomulyo tidak hanya menjaga warisan budaya mereka, tetapi juga memastikan bahwa nilai-nilai luhur Islam tetap hidup dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Dari perempatan jalan di Sidomulyo, pesan Gus Dur tentang syukur, toleransi, dan kebersamaan terus bergema, mengingatkan kita bahwa harmoni dapat ditemukan di tengah keberagaman, dan bahwa tradisi lokal memiliki kekuatan untuk menyatukan dan memperkuat iman.
Bahan bacaan:
Martin van Bruinessen, “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia”, Mizan, 2015.
Ahmad Suaedy, “Gus Dur, Islam Nusantara, dan Kewarganegaraan Bineka: Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999-2001” Graha Ilmu, 2002.