Buku mempertemukan banyak pihak dalam beberapa kesempatan, baik itu diskusi, seminar, dan kegiatan bertajuk kepenulisan. Masa lalu buku terpusat pada kehadiran penerbit-penerbit dengan kegiatannya menerbitkan cetakan demi cetakan yang disuguhkan kepada para pembaca. Bukan sebatas karya dari penulis Indonesia, keberadaannya memancing ketertarikan akan penulis-penulis dari luar.
Upaya penerjemahan menjadi satu jalan untuk mendekatkan ke mata dan telinga pembaca. Pada situasi ini, bahasa Indonesia menjadi satu hal yang terus diperhatikan. Bahasa Indonesia mesti dekat dengan beragam ilmu pengetahuan, dan pada gilirannya ia merupakan bahasa ilmu pengetahuan itu sendiri. Sah-sah saja saat Anton Moeliono lewat esai Menuju Gaya Bahasa Keilmuan di buku Santun Bahasa (Gramedia, 1984) menulis:
“Sejak ilmu pengetahuan mulai dapat diamati dan mulai bercorak eksperimen, kenyataan ini tidak sukar dilihat. Orang mulai mengubah dan meninjau kembali adat kebiasaannya berbahasa agar dapat disesuaikan dengan fakta-fakta yang diamatinya. Setiap kali gaya bahasa sehari-hari tidak memadai, setiap kali pula diciptakan suatu sistem bahasa dan gaya bahasa khusus yang baru.”
Pernyataan hendak menyiratkan akan bahasa mesti fleksibel dalam mengikuti dan menyesuaikan perkembangan zaman, terlebih adalah berkitan dengan ilmu pengetahuan. Dahulu, urusan seminar penerjemahan buku mempertemukan sederet nama ahli dalam waktu sehari untuk mencari jawaban atas keresahan maupun permasalahan berhubungan urusan terjemahan karya asing. Pertemuan terjadi pada 20 Agustus 1992.
Kegiatan dilaksanakan oleh Badan Pertimbangan Pengembangan Buku Nasional (BPPBN) itu, keseluruhan materi dari tiap makalah diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Penerjemahan Buku: Hasil Seminar Sehari tentang Penerjemahan Buku. Dulu, belum banyak mengira penerbit Gramedia kemudian hari menjadi sebuah penerbit yang digandrungi para pembaca dengan pilihan genre dan kualitas terjemahkan yang dihasilkan. Namun, nyatanya, direktur ketika itu, Alfons Taryadi sedikit cemas.
Kecemasan itu ia tuliskan dalam materinya, Peningkatan Kualitas Buku Terjemahan: Suatu Tantangan. Pada masanya, beberapa nama penerbit ketika itu menemui sebuah kesulitan mendasar berupa kelangkaan naskah dari penulis asli Indonesia. Daftar nama penerbit tersebut, mulai dari PT Pustaka Utama Grafiti, Erlangga, Yayasan Obor Indonesia, LP3ES, Gramedia, Pustaka Utama, hingga Elex Media Komputindo.
Dunia perbukuan perlu putar otak, salah satunya memikirkan upaya penerjemahan. Alfons menulis: “Mengingat situasi kelangkaan naskah asli penerbit tersebut di depan, penerbit di Indonesia tak bisa lain dari pada menyadari bahwa buku asing merupakan bagian yang penting dari pengadaan buku di Indonesia. Karena itu harus punya akses informasi mengenai buku-buku terbitan luar negeri, dan sehubungan dengan hal itu harus mempunyai kontak dengan penerbit asing.”
Di bagian lain, terdapat tulisan garapan Retnowati Martin, Penerjemahan Sebagai Penunjang Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Ia menaruh kegiatan penerjemahan penting dengan dilandasi gagasannya akan keberadaan bahasa. Catatnya, bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan alat komunikasi yang sempurna. Ia kemudian menambahi, penerjemahan merupakan pengalihan amanat darisuatu bahasa sumber (Bsu) ke suatu bahasa sasaran (Bsa).
Tulisan demi tulisan tersampaikan. Tak ketinggalan ia memikirkan akan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kontekstualisasi perkembangan zaman. Kalimat tertulis: “Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan sangat pesat. Negara berkembang seperti Indonesia harus mampu mengimbanginya. Keinginan untuk maju sangat menggebu namun tetap tersendat karena tidak mudah. Ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan dapat diperoleh masyarakat yang lebih maju melalui bahasa masyarakat yang bersangkutan.”
Penulis kemudian teringat sebuah bunga rampai, Buku dalam Indonesia Baru. Berisi kumpulan tulisan yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia di 1999. Para tokoh, baik intelektual maupun cendekiawan pada masanya berbagi tulisan untuk mengobrolkan keberadaan dunia perbukuan di Indonesia. Salah satu cendekiawan, Y. B. Mangunwijaya menulis esai berjudul Peran Buku Demi Kearifan dalam IPTEK.
Romo Mangun memberi analisis posisi buku di tengah perkembangan media elektronik. Baginya, buku-buku IPTEK harus tetap diterbitkan dengan memberikan tiga kategori. Pertama, bersifat informatif belaka. Kedua, yang menyebarluaskan informasi dan kemungkinan-kemungkinan teknologi terapan yang bersahabat dengan lingkungan. Ketiga, memuat informasi yang lebih luas dan mendalam tentang prasyarat sikap dasar umum (professional) untuk ber-IPTEK.
Buku demi buku hasil terjemahan dari bahasa asing kemudian termuliakan di hadapan para pembaca. Buku kemudian tak sebatas pada daur produksi, distribusi, dan konsumsi. Ia melibatkan banyak unsur, sekalipun itu lintasan negara lain dengan latar belakang ideologi tentu saja, kehadiran pihak pemodal dengan berbagai lembaganya, hingga kepentingan jangka panjang akan jenis buku yang disuguhkan pada pembaca.
Pada abad XXI, tak sedikit orang terus tekun terhadap bacaan. Mereka tetap ikhlas dan merelakan dalam penyisihan uang guna menimang daftar bacaan yang diinginkan. Alih-alih berangkat bahwa berbuku itu tindakan mulia, mereka paham bahwa di balik lahirnya buku, ada kepamrihan dari penulis, penerjemah, penerbit, dan petugas lain yang secara bergilir bekerja sama untuk menjaga stabilitas akan hal bernama kebudayaan membaca.[]