Sedang Membaca
Mengenal Spesies “Homo Videns”
Ali Makhrus
Penulis Kolom

Kelahiran Dusun Godongan Desa Purworejo Kecamatan Geger Kabupaten Madiun, Kampoeng Pesilat. Lulus Strata-1 dari Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah al-Urwatul Wutsqo (STIT-UW) Jombang. Alumnus Pondok Pesantren Riyadlul Mubtadi’in (PPRM) Desa Laju Kidul, Singgahan, Tuban. Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini sedang fokus mendalami Kajian Peace Building & Conflict Resolution dalam rangka ikut serta membangun harmoni keragaman identitas Perguruan Pencak Silat di Eks-Karesidenan Madiun.

Mengenal Spesies “Homo Videns”

Saat ini masyarakat kita sedang menikmati “informasi visual” tanpa batas. Kehadiran televisi, media sosial, youtube, game dan teknologi bergambar lainya telah memberikan efek serius bagi keberlangsungan kehidupan demokrasi dan harmoni bangsa.

Sejatinya, kehidupan demokrasi mengidealkan, dalam istilah Matthew Lipman (1991), “People are engaged in thinking, reflective, introspective, responsible, reasonable, collaborative, cooperative–yakni ciri masyarakat demokratis terlibat dalam berfikir, reflektif, introspektif, responsif, melakukan sesuatu secara beralasan, berkolaborasi dan kooperasi. Hanya saja, apa yang belakangan ini menimpa masyarakat kita berbanding terbalik 180 derajat.

Pesan gambar (meme-meme) berantai telah memenuhi dan menjejali medsos kita. Nyaris, para reciever (penerima pesan) “menelan” itu tanpa disertai pertimbangan kognisi (kritis). Karena diterima mentah-mentah pada akhirnya pesan gambar tersebut menimbulkan kakacauan (confusion).

Konteks di atas, relevan dikaitkan dengan pertanyaan apa, bagaimana, dan untuk apa “informasi” itu?

Secara umum, “informasi”, menurut Andi M Faisal Bakti, Guru Besar Fakultas UIN Jakarta, istilah “informasi” merupakan rangkaian dari kata inform-ation, bermakna bahwa seseorang yang memiliki informasi memiliki kewajiban untuk menyampaikan (inform) apa yang diketahuinya tersebut kepada orang lain. Dalam istilah Islam kita menyebutnya tabligh.

Sementara itu, jika dirangkai dari kata “in-formation”, bermakna bahwa penerima pengetahuan juga ikut menentukan makna dari informasi yang dia dapatkan, di mana dia bertindak secara aktif dalam mengelola informasi tersebut. Sementara, visual dalam arti harfiah ialah gambar. Jika digabungkan, informasi visual berarti kesatuan arti yang merujuk pada bentuk informasi yang berupa gambar, baik dari televisi, video dan bentuk-bentuk visual lainya.

Baca juga:  Islam, Iman, dan Tertib Lalu Lintas

Berangkat dari framework ini, terdapat tiga model berkaitan dengan informasi visual dalam kajian ilmu komunikasi. Model pertama biasa disingkat dengan SMCR (sender, message, chanel, and receiver). Menurut model ini, keempat komponen tersebut memiliki relasi yang linier yang saling memengaruhi satu sama lain. Efektifitas unsur-unsur tersebut sangat menentukan keberlangsungan komunikasi yang tuntas.

Pertanyaan selanjutnya, untuk apa ketuntasan komunikasi jika tidak memiliki dampak sama sekali?

 

Maka lahirlah model effect. Dengan kata lain, efeklah yang sangat diperhatikan dalam informasi. Hanya saja, kritik selanjutnya muncul pada peran dan posisi receiver yang pasif, hingga kemudian lahir model active recipient model.

Model terakhir ini sebagai otokritik model-model sebelumnya, yang menempatkan penerima pesan sebagai bagian yang tidak memiliki andil apa-apa (Andi Faisal Bakti, Prophetic Communication Startegis: Risale-I Nur’S Perspective, 2013). Pada model yang terakhir tersebut, seseorang penerima informasi memiliki peran dan posisi aktif terhadap makna yang terkandung.

Mengacu pada model ketiga di atas, maka sudah sepatutnya masyarakat maya Indonesia lebih bijak terhadap peredaran informasi terutama gambar dan video dengan segala kepentingan di dalamnya yang sering kali tidak jelas arahnya. Di sisi lain, keaktifan dari penerima video berujung pada tafsir-tafsir liar yang dipaksakan, dan direproduksi dengan nuansa yang lebih menguntungkan kelompok tertentu.

Baca juga:  Membayangkan Dunia Tanpa Fakta

Sebagaimana video pembakaran bendera di Garut, memberikan effect yang besar bagi harmoni ukhuwah islamiyah dan wathaniyah. Tentu saja, kewarasan akal budi sangat menentukan bagaimana kasus ini ke depan akan berlangsung. Peran akal budi perlu lebih dikedepankan dari pada sekedar emosi-naluri yang meluap-luap. Hal ini sebagai bagian dari perbedaan kita dari hewan yang hanya mengandalkan emosi atau naluri semata.

Saat ini media masa banyak melahirkan spesies baru, yakni manusia produk informasi visual, yang disebut homo videns (Giovanni Sartori,1924-2017). Awalnya manusia dikenal sebagai Homo Sapiens, yakni sebagai produk budaya tertulis. Namun perkembangan zaman membawa manusia menjadi makhluk Homo Videns, yakni produk informasi bergambar. Keduannya memiliki karakter yang sangat jauh berbeda. Jika Homo Sapiens bersaksi atas dunia yang disimaknya dengan modal akal budi, maka Homo Videns bersaksi atas dunia yang ditontonnya semata dengan naluri.

Mochtar Pabottinggi mencirikan “Homo Videns sebagai jenis manusia produk televisi, yang jiwanya tak lagi bekerja dengan konsep-konsep, dengan pandangan-pandangan abstrak, tetapi dengan imaji-imaji terberi. Beda dengan Homo Sapiens, mentalitas Homo videns tak kuasa membaca hal-hal hingga di balik atau di seberang imaji-imaji (Opini Kompas, Rabu/31/2018).

Lebih Lanjut, Stefano Oliviero, memberikan penjelasan yang renyah, bahwa Homo Videns adalah sebutan untuk orang yang kerangka pengetahuannya dibentuk oleh media masa modern. Jika hal ini menimpa anak-anak, maka pengalaman pasif semasa kana-kanak yang melimpah yang didasarkan pada media dapat menghalangi anak-anak dari berkembangnya kemampuan untuk mengelola sesuatu yang abstrak, yakni kemampuan untuk membentuk konsep umum, membuat perbandingan dan mengetahui sesuatu dari sudut pandang yang berbeda (Jurnal Childhood & Philosophy, V. 3, N. 6, Jul-Des, 2007).

Baca juga:  Qiraah Sab'ah 1: Mengapa Cara Membaca Al-Qur'an Berbeda-beda?

Ledakan-ledakan visual dalam daring dan medsos telah ikut memainkan peranan yang besar bagi kemunduran fungsi kognitif masyarakat kita dewasa ini. Orang bisa menjadi teroris dan anarkhi hanya melalui informasi visual dari seluruh fasilitas selancar digital, dan naluri hewani yang semakin mendominasi.

Di saat yang bersamaan, alam digital seperti hutan rimba, siapa yang kuat menjadi pemangsa, dan yang lemah akan dimangsa. Hoaks dengan segala bentuknya menunjukkan trend yang terus naik produksinya. Lantas, apakah harmoni kebangsaan Republik Indonesia akan baik-baik saja atau justru porak-poranda?

Oleh karenannya, jika situasi sekarang bisa disebut ‘zaman edan’ dengan hadirnya konfigurasi fitnah, hoaks dll, dengan logika “yen ora edan ora keduman”, maka sikap dan karakter yang diperlukan adalah “tansah eling lan waspodo”. “Eling” dalam artian mengutamakan peran kognitif, melakukan tabayyun, mengklarifikasi kepada ahli dzikr. Selanjutnya “waspodo”, terus belajar dari peristiwa ke peristiwa yang telah terjadi sebagai sebuah pelajaran.

Wallahu a’lam bis shawwab

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top