Salah satu ajaran Islam yang disebut secara berulang-ulang dalam Al-Qur’an adalah ajaran amar makruf nahi munkar. Sependek penelusuran penulis, setidak ada delapan ayat yang secara terang-terangan (sarih) bicara konsep ajaran ini. Misal, dalam Ali Imran (3): 102, Ali Imran (3): 110, Ali Imran (3): 114, al-A’raf (7): 157, al-Taubah (9): 71, al-Taubah (9) 112, al-Haj (22): 41 dan Luqman (31): 17.
Begitupula dalam al-Sunnah. Dalam kumpulan sabda nabi terdapat beberapa hadis yang menjelaskan tentang konsep amar makruf nahi munkar, mulai pengertian, hukum, konsep dan kenapa ajaran tersebut perlu dilaksanakan. Penyebutan Al-Qur’an secara berulang-ulang dan kemudian dalam al-Sunnah tersebut menjadi tanda ihwal urgensitas ajaran amar makruf nahi munkar dalam kehidupan beragama.
Abu Hamid al-Ghazali, salah seorang sarjana besar dalam karya monumentalnya, Ihya’ Ulumiddin bahkan perlu menjadikan satu pembahasan khusus tentang amar ma’ruf nahi munkar. Mula-mula, ia menulis tentang status hukum, keutamaan, rukun-syarat, hingga bagaimana amar makruf nahi munkar kepada penguasa.
Sebelum masuk ke pembahasan lebih jauh, penting kiranya memberi pemahaman terhadap terminologi ini. Amar makruf nahi munkar, yang secara sederhana dimaknai dengan menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran.
Sementara menurut Abu Manshur al-Maturidi, yang dimaksud dengan al-Ma’ruf (kebaikan) adalah sesuatu yang dianggap baik dalam kacamata naluri dan akal manusia sementara al-Munkar (keburukan) adalah sesuatu yang dingkari, tidak disukai oleh naluri dan akal manusia. Syaikh Alauddin dalam menambah kata agama dalam definisi al-Ma’ruf dan al-Munkar. Maka menurut beliau al-Ma’ruf adalah sesuatu yang dianggap baik secara kacamata agama, naluri dan akal manusia. Sementara al-Munkar bermakna sesuatu yang dianggap buruk dalam pandangan agama, naluri dan akal manusia.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al-Zawajir mendefinisikan dengan “Yang dimaksud dengan amar makruf nahi munkar adalah memerintah dengan kewajiban-kewajiban agama dan mencegah dari perkara yang dilarang di dalamnya.” Dari sini kemudian disimpulkan, model utama dalam melakukan ajaran ini adalah ilmu agama. Sebab yang menjadi neraca dalam menimbang “al-Ma’ruf dan al-Munkar” adalah ilmu dan agama.
Hal tersebut –yakni yang menjadi pondasi utama dalam amar makruf nahi munkar adalah ilmu—sudah ditegaskan berkali-kali oleh Syaikh Nawawi al-Bantani. Ulama Nusantara itu, menyebut orang yang pengetahuannya dangkal tak mungkin bisa menjadi seorang penyeru dalam dakwah. Sebab bisa jadi kemafsadatan yang dilahirkan lebih besar dari kemanfataan yang diperoleh.
Al-Ghazali memasukkan amar makruf nahi munkar sebagai salah satu hal yang masuk ranah fardhu, meski sifarnya kifayah bukan ain. Istilah kedua, fardu ain digambarkan sebagai sebuah kewajiban yang harus dikerjakan oleh semua orang tanpa mempertimbangkan personalnya. Artinya, kewajiban dalam hal ini mengikat kepada seluruh orang. berbeda dengan itu adalah fardu kifayah, yang oleh ulama didefinifikan sebagai kewajiban yang harus dikerjakan semua orang namun jika ada satu orang yang mengerjakan, maka yang lain dianggap telah melaksanakan. Pendek kata, fardu ain adalah kewajiban personal sementara fardu kifayah adalah kewajiban komunal.
Amar makruf nahi munkar, menurut al-Ghazali, masuk kategori kifayah ini. Jadi jika ada pihak yang melakukan, maka yang lain tak terbebani kewajiban. Dasar normatif al-Ghazali adalah firman Allah Swt:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.
Menurut al-Ghazali, dalam ayat di atas, ajaran amar makruf nahi munkar didahului oleh bunyi perintah (amar), yaitu pada lafadz waltakun minkum. Sementara setiap perintah impilkasinya adalah kewajiban mengerjakan. Sementara lafadz minkum, yang artinya sebagian dari kalian, bukan semuanya, menjadi alasan kenapa konsep ini masuk dalam kategori fardhu kifayah.
Syaikh Nawawi Banten, ulama Nusantara yang kemudian berkarir di Mekkah, memberi argumen tersendiri kenapa amar makruf nahi munkar dikategorikan sebagai perkara fardu kifayah. Menurutnya, amar makruf nahi munkar adalah termasuk persoalan pelik, hingga yang bisa melakukannya hanya orang yang memahami kondisi dan bisa menghadapi masyarakat. Dia menulis dalam Tafsir Munir:
وهذه الأمور من فروض الكفايات- لأنها لا تليق إلا من العالم بالحال- وسياسة الناس حتى لا يوقع المأمور أو المنهي في زيادة الفجور فإن الجاهل ربما دعا إلى الباطل وأمر بالمنكر، ونهى عن المعروف وقد يغلظ في موضع اللين ويلين في موضع الغلظة
“Perkara-perkara ini—amar makruf nahi munkar—adalah masuk kategori fardhu kifayah karena hal tersebut tak mungkin bisa dilaksanakan kecuali oleh orang yang mengerti keadaan dan bisa mengatur manusia. Sehingga tak terjebak menjadikan perkara al-Ma’ruf dan al-Munkar menjadi lebih rusak dan menjadi-menjadi. Karena sesungguhnya orang bodoh ketika ia mengajak kepada kebatilan dan memerintahkan kemungkaran dan justru mencegah kebaikan. Ia kadang bersikap keras di posisi yang harusnya lembut dan bersikap lembat di posisi yang harusnya keras”.
Tahapan Amar Makruf Menurut Nabi
Dalam sebuah kesempatan nabi pernah bersabda.
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان
“Barang Siapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah mengubahnya dengan tangan-kekuasaan, jika tidak mampu maka dengan lisan-ucapan, dan jika masih tidak mampu maka dengan doa-hati manusia. Dan itu (menggunakan hati) adalah selemah-lemahnya iman”
Dalam hadis di atas, nabi sedang menjelaskan tahapan dan pembagian amar makruf nahi munkar. Menurut nabi, tahapan amar makruf nahi munkar ada tiga.
Pertama, mengubah dengan tangan (ingkar bi al-Yad), pada tahapan ini, seorang hendaknya menyeru kepada kebaikan dan mengubah kemungkaran dengan tangan baik dalam maknya yang hakiki atau yang majazi. Makna dengan tangan yang hakiki adalah ia menggunakan tangan untuk menyeru kebaikan dan mencegah keburukan sementara makna majazi bisa bermakna menggunakan kekuasaan.
Kedua, mengubah dengan ucapan (ingkar bi al-Lisan), yakni mengingatkan melalui lisan dan media komunikasi lainnya. Fase kedua ini sedikit lebih rendah resikonya daripada yang pertama. Sebab jika yang pertama, mengubah dengan tangan potensi ada perlawanan dan konfrontasi ada. Namun demikian, fase menggunakan lisan, maka tetap menggunakan bahasa dan tutur kata yang baik. Bukan kata-kata yang menimbulkan kebencian. Karena jika demikian, alih-alih mereka akan lunak justru mereka akan semakin keras kepala. Sementara soal tekhnis tentu diserahkan sepenuhnya dengan situasi dan kondisi.
Ketiga, mengubah dengan hati (ingkar bi al-Qalbi). Bagaimana caranya, tentu dengan memberikan ketidaksetujuan terhadap kemungkaran sembari mendoakan pelakukan agar diberi keinsyafan. Karena kita tahu semua, apapun usaha manusia, titik hidayah tetap hak preoratif Tuhan Penguasa jagad semesta.
Menarik apa yang disampaikan Imam al-Qurtubi dalam Tafsirnya, ketika menafsiri hadis tentang tingkatan mencegah kemungkaran di atas. Menurutnya, amar makruf nahi munkar harus disesuai dengan peran dan kemampuan masing-masing manusia, misal menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan tangan adalah tugas penguasa, sementara dengan media lisan adalah tugas ulama-cerdik cendikia dan dengan hati adalah mereka yang lemah posisinya.
Ala kulli Hal, amar makruf nahi munkar memang ajaran yang penting dalam agama Islam. Akan tetapi ia tidak boleh dijalankan dengan sembarang cara dan tindakan. Sejak awal, Islam sudah mewanti-wanti bahwa yang bisa melaksanakannya adalah mereka yang memiliki pengetahuan agama luas, paham situasi dan kondisi dan sebagaimana catatan al-Qurtubi, cara amar makruf berbeda-beda antar manusia sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Kenapa diatur demikian, tujuannya agar amar makruf nahi mungkar benar-benar melahirkan kebaikan bukan justru melahirkan kemungkaran yang lebih besar. []