Sang Cipta Rasa. Begitulah nama masjid agung di Kota Cirebon, Jawa Barat. Namanya begitu puitis, memakai bahasa lokal, namun tidak menghilangkan aspek kemulian dan religiusitas tempat ibadah umat Nabi Muhammad ini. Mengapa masjid tersebut tidak menggunakan bahasa Arab?
Tidak ada jawaban pasti atas pertanyaan di atas. Namun, hari ini kita bisa memaknai dan merasakan bahwa nama lokal, begitu akrab di telinga masyarakat. Makna dari sebuah nama lokal langsung terserap alam pikir kebudayaan mereka. Serasa tidak ada jarak, antara Islam yang baru datang, dengan masyarkat setempat yang telah lama memiliki adat, nilai-nilai lokal atau agama yang telah datang sebelum Islam.
Aspek-aspek lokal, termasuk kebahasaan, dinilai punya pengaruh besar dalam proses islamisasi di seluruh penjuru Nusantara. Salat disesuaikan dengan sembahyang, saum menjadi puasa, syahadatain diucapkan sekaten, ma’had diganti pesantren dan lain sebagainya.
Masjid sendiri diganti kata dengan kata “Sigit” (Jawa) yang berarti baik, atau “mesigit” yang berarti tempat kebaikan. Begitu juga dengan mushola juga punya nama lokal, seperti surau, meunasah, langgar atau tajug. Nama-nama itu bisa berubah sesuai tempatnya. Sumatra berbeda dengan Jawa, Kalimantan Berbeda dengan Sulawesi, Lombok berbeda dengan Ambon dan seterusnya.
Namun demikian, kebudayaan Nusantara bukanlah kebudayaan tertutup, yang menolak kebudayaan luar. Justru sebaliknya, semua wilayah Nusantara begitu terbuka dengan budaya luar, dengan nilai-nilai baru, termasuk agama. Sifat ini sesuai dengan karakter Nusatara sebagai negeri maritim, sebagai bangsa pelaut yang bertemu dan bermuamalah dengan siapa saja.
Cirebon termasuk dalam di dalamnya. Bahkan pada masa-masa lampau, Cirebon merupakan salah satu pelabuhan utama di pesisir pantai utara pulau Jawa, selain Sunda Kelapa, Rembang dan Surabaya.
E.S. Ekajati dalam catatannya mengatakan bahwa awal abad ke-15 Masehi saudagar-saudagar yang berasal dari Parsi, Arab, India, Pasai (Aceh), Malaka, Tumasik (Singapura), Palembang, Cina, Jawa Timur, dan Madura singgah di pelabuhan Muara Jati dan pasar Pasambangan.
Mereka berinteraksi, tukar menukar budaya, berniaga, atau sekedar mampir untuk istirahat atau memenuhi kebutuhan pelayaran. Tidak hanya itu, mereka melakukan perkawinan. Pelabuhan waktu itu masuk dalam wilayah Galuh-Pajajaran yang Hindu. Namun dikelola kepada Ki Ageng Tapa, seorang pejabat yang sudah memeluk agama Islam.
Dan keterbukaan budaya Nusantara, tampak jelas terlihat dalam masjid Agung Sang Cipta Rasa. Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun komplek keraton Kasepuhan Cirebon. Seperti formasi tata letak masjid-masjid sepuh lainnya, di depan masid terhampar ruang terbuka yang lazim disebut alun-alun.
Masjid dibangun oleh Sunan Gunung Jati atas inisiatif Sunan Kalijaga. Ada yang mengatakan mulai dibangun tahun 1498 M atau 903 H, ada yang mengatakan 1500 M atau 905.
Adalah Pangeran Sepat yang mengarsiteki Sang Cipta Rasa. Dia didatangkan langsung dari Majapahit. Unsur-unsur keragaman sangat kentara pada bangunan masjid Agung Sang Cipta Rasa. Bukti-bukti pra Islam dalam masjid sangat terasa, meski masjid dibangun oleh kesultanan dan kekuasaan yang sepenuhnya Islam.
Bukan tidak mungkin arsitektur masjid Agung Sang Cipta Rasa diniatkan menjadi monumen penghormatan pada tradisi lama, sekaligus menerima tradisi baru berupa agama Islam.
Ibrahim Her dari ITB dalam makalahnya mencatat, “Cara penataan, penamaan, dan perwujudan mencerminkan adanya latar belakang konsep yang sangan kuat dipengaruhi oleh pranata pemirintahan dalam sstem kesultanan.”
Unsur-unsur yang terdapat dalam perwujudan bangunan masjid Agung Sang Cipta Rasa Kasepuhan, kata Ibrahim Her, dibentuk dan dikonsep atas dasar unsur campuran tradisi Hindu-Jawa dan dominasi unsur kekuasaaan kesultanan (Islam). Beberapa ruang menunjukkan cerminan tersebut, seperti di antaranya ruang Maksuri, yakni tempat sembayang Sunan, para pejabat dan keluarga sunan.
“Masjid Agung Sang Cipta Rasa Kasepuhan dibangun pada masa kesultanan Islam, namun prinsip dan unsur pembentukannya memiliki persamaan dengan yang berkembang pada langgam pra Islam,” tegasnya.
Perwujudan secara umum arsitektur masjid Agung Sang Cipta Rasa memang kuat sekali gaya Majapahit yang waktu itu memang masih membayangi kesultanan Islam pertama di dan kedua di Jawa, Demak dan Cirebon. Gapura, serambi, atap masjid mirip Joglo, semuanya khas Jawa.
Unsur Islam masuk memberi nilai pada bangunan tersebut berupa atap tumpang tiga yang melambangkan iman, Islam dan Ihsan. Tiga nilai ini diadopsi dari masjid Demak. Tumpang tiga pada atap masjid kemudian menjadi semacam kaidah arsitektur masjid Nusantara. Belum ada bukti secara pasti siap konseptor atap tumpang tiga dan masjid mana yang pertama kali menggunakan konsep ini.
Sebelum direnovasi, masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki 12 tiang yang terbuat dari kayu jati. Namun pada tahun 1977, unsur besi ditambahkan untuk memperkuat tiang asal yang memang melemah karena faktor usia. Juga ditambah 6 tiang baru untuk memperkuat. Pemugaran setidaknya telah dilakukan lima kali, termasuk pada masa kolonial tahun 1934.
Sembilan pintu yang dimiliki masjid Agung Sang Cipta Rasa memberi makna anggota dewan wali yang berjumlah Sembilan. Satu pintu utama dan delapan di sisi kanan dan kiri.
Pintu utama masjid yang berukuran 240 cm hanya dibuka pada saat salat Jumat dan hari besar Islam lainnya, seperti Maulid Nabi, salat Idul Fitri, dan Idul Adha.
Pintu ciut dan pendek, tinggi 160 cm, adalah semacam isyarat bahwa manusia haruslah rendah hati, terlebih saat hendak menghadap Tuhan. Siapapun yang hendak ke masjid, entah dia rakyat, pejabat, pangeran, ulama, semua harus menundukkan diri. Semuanya sama di hadapan Tuhan, Sang Cipta Rasa.