Sejarah mencatat bahwa masa keemasan Islam (the golden age of Islam) dicapai pada masa Dinasti Abbasiyah di Baghdad, terlebih pada masa kekhalifahan Harun Ar-Rasyid. Kehadiran sebuah perpustakaan yang diberi nama “Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan)” menjadi salah satu faktor utama kemajuan Islam di bidang ilmu pengetahuan pada masa itu.
Baitul Hikmah menjadi tempat penerjemahan buku secara besar-besaran. Buku-buku didatangkan dari beberapa negara atau wilayah yang memiliki pengetahuan dan peradaban yang lebih dahulu maju dibandingkan Islam itu sendiri. Baitul Hikmah menyimpan banyak karya asli berbahasa Yunani, Sansakerta, dan Persia serta terjemahan dari masing-masing bahasa tersebut dalam bahasa Arab. Kemajuan pesat Baitul Hikmah tidak terlepas dari campur tangan Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Ar-Rasyid disebut sebagai sebagai pengeran para khalifah dan raja teragung sepanjang sejarah Islam. Nama aslinya adalah Abu Ja’far Ar-Rasyid bin Muhammad Al-Mahdi. Nasabnya bersambung ke kakek Nabi, Abdul Muthalib, melalui jalur Abbas. Ia dilahirkan di Ray pada tanggal ketiga terakhir dari bulan Dzulhijjah tahun 150 H.
Ia berkulit putih, berbadan tinggi dan gemuk, memiliki wajah yang rupawan, serta fasih dalam bertutur kata. Ia memiliki keluasan ilmu dan sastra, menyukai ilmu dan sangat hormat terhadap ulama, dan selalu menghindari perdebatan-perdebatan yang tidak penting. Selama menjadi khalifah, ia terbiasa shalat sunah seribu rakaat setiap hari.
Ar-Rasyid dikenal sebagai pribadi yang mudah memberi, baik karena kemauannya sendiri maupun karena diminta. Ia adalah khalifah yang sangat menyukai syair, bahkan menghafalkannya. Ia senang mendengarkan pujian dan menyenangi orang-orang yang memujinya. Salah satu syair yang menunjukkan kedermawanan Ar-Rasyid pernah dilantunkan oleh Ibrahim bin Mushali, ia berkata,
“Tidakkah kau lihat matahari telah sakit
Dan ia baru bersinar setelah Ar-Rasyid menjadi khalifah
Dengan berkah Harun, sang Aminullah yang dermawan
Sang Khalifah dan menterinya Yahya yang budiman”
Ar-Rasyid juga dikenal sebagai khalifah yang sering memimpin langsung peperangan dan sering menunaikan ibadah haji. Yang demikian karena pada suatu malam ia pernah bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam mimpinya ia mendengar Nabi berkata, “sesungguhnya khilafah ini berada di genggaman tanganmu di bulan ini (Dzulhijjah). Maka keluarlah untuk berperang, lakukanlah haji dan berlakulah dermawan kepada penduduk Makkah dan Madinah!”
Semasa hidupnya Ar-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang gemar menuntut ilmu. Kecintaannya terhadap ilmu dan penghormatannya kepada ulama membuatnya sering melangkahkan kaki mendatangi ulama yang hidup di sekitarnya, baik untuk minta diajarkan ilmu atau pun untuk diberi nasehat.
Ia juga dikenal sebagai khalifah yang paling sering menangis. Karena setiap kali ia diberi nasehat, ia akan menangis, bahkan tersedu-sedu. Mengenai hal ini Manshur bin Ammar pernah berkata, “tidak pernah kulihat orang yang paling deras cucuran air matanya dari tiga orang ini; Al-Fudhail bin Iyadh, Ar-Rasyid, dan seorang yang lain (dia lupa namanya)”
Dalam bidang fikih Ar-Rasyid berguru kepada Al-Kisa’i. Al-kisa’i juga menjadi guru bagi kedua putra Ar-Rasyid, Al-Amin dan Al-Ma’mun. Kepada Hamzah Az-Ziyat, ia (Ar-Rasyid) memeriksa bacaan Aqurannya sebanyak empat kali, kemudian ia memilih sendiri aliran qiraat yang ia ikuti untuk dirinya, yang termasuk dari qiraat sab’ah. Ketika usianya beranjak tua, ia pergi ke Bahsrah untuk belajar nahwu kepada Khalid bin Ahmad.
Dalam bidang hadis ia belajar kepada Imam Malik bin Anas. Imam Malik berkata, “Harun Ar-Rasyid pernah berdiskusi denganku agar kitab Al-Muwaththa digantung di Kakbah agar orang-orang mengikuti kandungannya. Aku berkata, “Jangan engkau lakukan itu. Sesunggunhnya para sahabat Nabi SAW telah berbeda pendapat mengenai masalah furu’ dan mereka telah berpencar ke berbagai negara, dan semuanya benar.”
Al-Fadhil, seorang qadhi, dalam beberapa risalahnya berkata, “Tidak pernah kutemui seorang pun raja yang memiliki riwayat perjalanan yang sangat panjang dalam menuntut ilmu kecuali Ar-Rasyid.” Ar-Rasyid disertai kedua anaknya, Al-Amin dan Al-Ma’mun pernah melakukan perjalanan panjang dari Baghdad ke Madinah dengan niat mendengarkan pembacaan kitab Al-Muwaththa dari Imam Malik rahimahullah.
Ketika Ar-Rasyid masih kecil, ayahnya, Khalifah Al-Mahdi pernah beberapa kali meminta Imam Malik agar berkunjung ke istananya guna mengajarkan hadis kepada kedua putranya, yaitu Musa dan Harun. Menanggapi permintaan Al-Mahdi, Imam Malik menjawab, “Tidak, wahai Amirul Mukminin. Ilmu itu didatangi, tidak datang sendiri.” Mendengar jawaban ini, Al-Mahdi pun terpaksa mengirim kedua putranya kepada Imam Malik guna mendapatkan ilmu dari Imam Dar al-Hijrah.
Ar-Rasyid juga dikenal sebagai pribadi yang memiliki sikap tegas terhadap orang-orang yang berani mengkritik hadis. Suatu ketika Abu Mu’awiyah Adh-Dharir membacakan hadis kepada Ar-Rasyid yang berbunyi: “Adam dan Musa berdebat,” pada saat itu ada beberapa orang dari pemuka Quraisy, dan salah seorang dari mereka berkata, “Bagaimana Adam bisa bertemu dengan Musa?” mendengar perkataan itu Ar-Rasyid pun marah, lalu berkata, “Ambil cemeti dan pedang. Dia adalah zindiq yang melecehkan hadis Rasulullah.”
Demikianlah kehidupan Harun Ar-Rasyid; kehidupan seorang khalifah teragung di dunia, kehidupan yang penuh dengan keberkahan karena kedermawanan dan keluasan ilmunya, keberkahan hidup yang ia dapati karena mencintai ilmu dan menghormati ulama. Al-Rasyid meninggal di bulan Jumadil Akhir tahun 193 hijriyah.
Daftar Bacaan:
As-Suyuthi. 2005. Tarikh Khulafa, ter. Samson Rahman. Cet ke-4. Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar.
Abu Khalil, Syauqi. 2006. Harun Ar-Rasyid: Amir al-Khulafa wa Ajallu Muluk ad- Dunya, ter. Abou Elhamd Ali Ahsami. Cet ke-1. Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar.